Inspirasi Pintar,- :
SYMBIOSIS ANTARA IKLIM, GEOGRAFIS, SENI DAN ARSITEKTUR
Studi Kasus di daerah Pantura Kawasan Cirebon
Oleh : H. Ikin Solichin
Symbiosis Iklim dan Geografis
Pada umumnya yang disebut kawasan Cirebon adalah wilayah eks Karesidenan Cirebon yang meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.
Secara geografis kawasan Cirebon dapat dikatakan terbagai dua bagian , yaitu bagian selatan yang relative bersifat pegunungan dan bagian utara merupakan wilayah pantai yang saat ini wilayah tersebut popular dengan nama wilayah Pantura akronim dari pantai utara. Meskipun secara makro wilayah Cirebon ini merupakan wilayah iklim tropis panas lembab, tetapi secara mikro antara wilayah Cirebon Pantura dengan wilayah Cirebon pegunungan terdapat perbedaan iklim lokalnya, yang memungkinkan terdapat perbedaan suasana alamnya dan karakteristis penduduknya.
Perbedaan iklim lokal ini dapat dirasakan dengan suhu udara di daerah Pantura lebih panas dan dengan kondisi kelembaban yang cukup tinggi , masyarakat di wilayah Pantura lebih merasakan kegerahan di bandingkan dengan masyarakat di pegunungan., dan tentunya akan berdampak pula terhadap sikap, adat istiadat dan perilaku masyarakatnya..Umumnya masyarakat Pantura spontanitasnya tinggi, lebih temperamen dan lebih suka bergadang.Symbiosis Iklim dan Arsitektur
Bentuk perumahan tradisional di daerah pesisir utara yang pada masa kini dikenal dengan daerah “pantura”, pada umumnya terdiri dari bentuk atap pelana ganda atau tumpang yang arah mukanya pada arah memanjang bangunan. Tata ruang pada umumnya terdiri dari tiga bagian dengan pembagaian ruang sesuai dengan bentuk atapnya , yaitu bagian muka tengah dan bagian belakang.
Bagian depan bangunan merupakan ruang – ruang public yang terdiri ruang penerima tamu, ruang keluarga dan kegiatan rumah tangga lainnya.. Bagian tengah rumah yang umumnya biasanya terbagi dua yaitu sebagaian sebagai ruang antara yang biasa dipergunakan sebagai ruang makan dan sebagian lagi disebut juga “tengan imah / tengah omah”, merupakan ruang inti yang dipakai sebagai ruang tidur utama dan tempat penyimpanan bahan makanan utama yaitu beras yang di sebut juga dengan nama”goah”.
Ruang “goah” ini tidak sembarang orang bisa masuk, terbatas hanya kepala keluarga pada saat-saat penyimpanan beras, dan pada saat-saat pengambilan beras atau kegiatan sehari-hari hanya “ibu rumah tangga” atau anak perempuan yang terpercaya yang boleh masuk “goah”
Ruang “tengah imah” yang terdiri dari ruang tidur utama dan “goah” lantainya dibuat ditinggikan sekitar kurang lebih 80 cm yang bagian bawahnya merupakan “kolong” yang difungsikan sebagai kandang ayam ( di beberapa tempat disebut “paranje”).
Secara structural bangunan umumnya dari rangka kayu dengan dinding dari “bilik” atau anyaman bambu, demikian pula rangka atapnya dari kayu dengan usuk atau kaso-kaso dan reng dari bambu dengan penutup atap dari genting.
Secara arsitektural konstruksi dinding anyaman bambu ini memberikan ventilasi yang alami sesuai dengan kondisi iklim setempat. Namun mengingat iklim local pantura yang umumnya jauh lebih panas / gerah dibandingkan dengan daerah pegunungan, pada bagian muka bangunannya yang merupakan “fasade” jendela berjeruji yang sifatnya memungkinkan udara dalam bangunan selalu berhubungan dengan udara luar, dengan kata lain udara luar beredar keseluruh ruangan.
Untuk masyarakat yang satatus ekonominya baik , selain untuk ruangan “tengah imah” diberi jendela berjeruji pula, pada fasade / muka bangunan bukan terbuat dari dinding anyaman bambu berjeruji, tetapi dari bahan papan kayu dengan jendela berjeruji sedemikan rupa yang memberikan tampilan lebih artistik dan keseluruhan bidang fasade ini disebut dinding “gebyog”.
Symbiosis Iklim dengan Seni “Hiburan”
Sebagaimana telah dipaparkan di muka bahwa bangunan perumahan tradisional di daerah pantura terdiri dari rangka kayu dinding anyaman bambu sebagaimana umumnya rumah tradisional di daerah tropis lainnya, masih ditambah dengan adanya jendela jaruji yang memungkinkan optimalnya peredaran udara di dalam rumah, namun masyarakatnya dimalam hari masih tetap merasa “kegerahan”
Suhu udara yang tinggi dan tingkat kelembabannya yang tinggi pula di daerah pantai pada malam hari, mengakibatkan ada kecenderungan orang-orang tidak dapat segera beristirahat ke dalam rumah. Mereka memilih berada diluar rumah sampai cukup larut malam, baru setelah suhu udara cukup rendah mereka masuk ke dalam rumah untuk beristirahat tidur.
Dalam proses mengatasi “kegerahan” di luar rumah , mereka duduk di emper-emper rumah yang relative setiap rumah mempunyai emper, bergadang duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol berinteraksi dengan tetangga. Interaksi semacam itu akan semakin meningkat manakala udara malam sedang bersih cerah lebih-lebih di malam terang bulan , maka suasana bergadang semakin asyik.
Suasana bergadang tidak terbatas sampai di situ, untuk mengatasai kebosanan dan menghindarkan kejenuhan , selain ngobrol dan bersenda gurau antar tetangga terjadilah langkah-langkah yang kelak menjadi hal yang cukup produktif terciptanya ragam hiburan baru yang berciri khas Cirebon. Awalnya secara iseng mereka bertetangga memanfaatkan suasana berkumpul untuk menghibur diri mengadakan sejenis seni suara yang bisa melupakan rasa gerah dan kebosanan.
Selanjutnya ada yang membawa peralatan yang lebih berarti di antaranya ada yang membawa guitar dan ada juga yang membawa suling, dan mungkin situasi itulah yang merupakan cikal bakal adanya kesenian Tarling ( singkatan dari Guitar dan suling) yang sekarang tampil sebagai seni budaya khas Cirebon yang mampu mengangkat budayawan Cirebon tampil di tingkat nasional. Adanya budaya hiburan ini merasuk ke dalam hati sanubari masyarakat pantura, sehingga dirasakan merupakan kebutuhan yang cukup berarti melebihi dibandingkan dengan masyarakat daerah lainnya.
Symbiosis Seni “Hiburan” dengan Arsitektur.
Seni hiburan yang sudah melekat erat ke dalam hati sanubari masyarakat Pantura, sangat mempengaruhi terhadap sikap kebiasaan dan adat istiadatnya bahkan tembus terhadap cita rasa arsitekturnya.
Hiburam nyaris bagian yang tidak terpisahkan manakala sesuatu keluarga mengadakan perhelatan , apakah itu acara pernikahan , acara khitanan dan atau acara lainnya, hiburan merupakan salah satu hal yang dihidangkan sebagai bagian konsumsi bagi para tamu. Adapun bentuk hiburannya sangat variatif, ada kesenian Tarling, Organ Tunggal, Dangdutan, Masres (Sandiwara), Wayang kulit, Genjring dogdog dan lain sejenisnya.
Selama perhelatan , pihak tuan rumah berusaha agar rumah, “blandongan/tarub” (bangunan yang di bangun saat perhelatan) untuk tamu dan pentas hiburan terasa menjadi kesatuan, sehingga fasade rumah dibongkar kecuali tiang penyangga konstruksi atap.
Prinsip inilah yang mempengaruhi konsep arsitektur rumah tinggalnya, maka untuk mengantisipasi terselenggaranya perhelatan, rumah tinggal di atur sedemikian rupa dimana Fasadenya direncanakan dengan prinsip “semi knock down”, yaitu dinding depan beserta jendela jeruji termasuk pintunya dapat dibongkar pasang, dan bagi rumah yang fasadenya dari gebyog maka gebyog itulah yang bersifat semi knock down.
Kini. bangunan rumah tinggal tradisional iklim tropis dengan konsep arsitektur yang sedemikian rupa telah pupus, sangat langka untuk dapat kita saksikan, nyaris punah dilanda zaman. Dengan berkembangnya teknologi bangunan rumah-rumah tersebut berubah wajah dan penampilan , digantikan oleh bangunan-bangunan rumah dengan gaya arsitektur dan bahan bangunan yang sesuai dengan perkembangan jaman .
Namun tidak demikian dalam hal budaya seni hiburan, hal ini masih melekat erat terpatri pada hati sanubari masyarakat Pantura. Bagi yang antusias terhadap hal-hal yang bersifat seni hiburan akan cukup menarik untuk menyimaknya.
Dampak Symbiosis terhadap perkembangan Badan Usaha Jasa Hiburan
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa perbedaan iklim lokal ini dapat dirasakan dengan suhu udara di daerah Pantura lebih panas dan dengan kondisi kelembaban yang cukup tinggi. Kondisi seperti ini sangat berpengaruh terhadap citra kehidupan masyarakat pantura. Meskipun pola arsitektur tradisional sudah mulai pupus diterjang oleh perkembangan zaman, tetapi dampak sikap hidupnya yang cenderung menempatkan Seni hiburan bagian budaya kehidupannya memberi peluang terhadap perkembangan perkumpulan jasa hiburan seperti telah dikemukakan di muka yaitu kesenian Tarling, Organ Tunggal, Dangdutan, Masres (Sandiwara), Wayang kulit, Genjring dogdog dan lain sejenisnya.
Berdasarkan pengamatan pada sekitar akhir millenium terdahulu dan awal milinium tiga ( antara tahun 1990 sampai awal tahun 2000) , bila kita melakukan perjalanan dari Kota Cirebon melalui Jalan Raya menuju ketiga arah, yaitu arah Selatan Cirebon – Kuningan , arah Barat (Jalur Tengah) Cirebon – Majalengka- Bandung dan arah Pantura Cirebon – Indramayu- Jakarta, untuk mereka/ perantau yang cukup jeli dalam memperhatikan situasi kiri – kanan jalan, akan sangat merasakan perbedaan situasi di jalur Pantura bila diperbandingkan dengan Arah ke Selatan (Cirebon-Kuningan) maupun Arah Jalur Tengah (Cirebon – Majalengka - Bandung).
Kondisi tersebut dapat dirasakan bahwa sepanjang jalur jalan Pantura antara Kota Cirebon sampai ujung barat batas Eks Karesidenan Cirebon ( tepatnya sekitar kota Sukra) dijumpai antara 15 (limabelas) sampai 20 (dua puluh ) Papan Nama Badan Usaha Jasa Hiburan dari berbagai jenis jasa hiburan dari Organ Tunggal sampai Genjring dogdog, dimana hal tersebut nyaris tidak dijumpai di jalur arah selatan maupun jalur arah Cirebon-Bandung. Dengan kondisi seperti ini merupakan suatu gambaran /image yang dapat disimpulkan bahwa kebereradaan Papan-papan Nama tersebut suatu indicator betapa melekatnya unsur hiburan merupakan sebagian kebutuhan hidup dikalangan masyarakat Pantura.
Catatan;
Symbiosis dalam Arsitektur sebagai istilah untuk menjelaskan “Suatu interaksi antar organisme yang hidup saling berdampingan”
Tags
ARSITEKTUR