KORELASI YANG KONTRADIKTIF ANTARA PENGADAAN INFRASTRUKTUR “PAPAN” DENGAN INFRASTRUKTUR “PANGAN”

Inspirasi Pintar,- :
KORELASI  YANG KONTRADIKTIF ANTARA PENGADAAN INFRASTRUKTUR “PAPAN” DENGAN INFRASTRUKTUR “PANGAN”

Oleh : Ikin Solichin,



ABSTRAK

Berdasarkan data berita mass media, Negara Indqnesia termasuk lima besar kelima dari jumlah penduduk dunia, yang dengan sendirinya membutuhkan penyediaan infrastruktur pemukiman dan infrastruktur  pangan yang perlu ditangani secara menyeluruh dan intensif.


Kenyataan dilapangan  perkembangan penyediaan prasarana permukiman dan perumahan  mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan pnyediaan  prasaran pangan dalam hal ini bidang pertanian pangan; semakin gencarnya upaya pengadaan prasaran permukiman dan perumahan yang dilakukan oleh jasa properti khususnya  bidang Real astate yang tentunya memerlukan lahan yang cukup signifikan , sedangkan dilain fihak semakin surutnya  lahan yang notabene sebagai prasarana  bidang pertanian guna penyediaan pangan  yang merupakan penghuni dari  permukiman yang telah diupayakan.


Kondisi seperti ini sangat rawan apabila tidak segera ditanggulangi , dengan cara meredam perbandingan terbalik sehingga  kontradiktifnya tidak  terlalu tajam bahkan bila memungkinkan terjadi keseimbangan  antara tersedianya  infrastruktur bidang permukiman  dengan tersedianya infrastruktur bidangan pangan . Penyelenggaraan  pngadaan infrastruktur diatur sedemikaian rupa selektif dengan cara memilih lahan yang sesuai dengan  kebutuhan permukiman tanpa tanpa menggunakan lahan yang subur yang berpotensi sebagai  infrastruktur pertanian . Di lain pihak  penyelenggaraan  pnyediaan infrastruktur pangan  dilakukan dengan lebih  menekankan intensifikasi lahan pertanian.


Selain hal-hal tersebut di atas, faktor demografi  turut berperan aktif dalam mengentaskan masalah ini ,  untuk menekan konsumsi pangan yang pengadaannya semakin terbatas,  perlu ada paradigma baru dalam  sikap hidup masyarakat  khususnya dalam hal “makan”,  yang biasanya  berorientasi kepada kuantitas banyaknya makan agar kenyang, tetapi perlu berubah menjadi berorientasi kepada kualitas dengan makan sedikit tetapi mempunyai nilai manfaat yang optimal. Langkah lain yang signifikan dalam mengurangi kesenjangan  infrastruktur papan dan pangan dengan menggalakkan program keluarga berencana.  Apa bila program ini  berhasil jumlah kebutuhan papan  dan kebutuhan pangan dapat di tekan sehingga   korelasi infrastruktur papan dengan infrastruktur pangan  kesenjangannya dapat diredam mendekati keseimbangan.







PENDAHULUAN


Peristiwa-peristiwa sejarah telah membuktikan bahwa pandangan-pandangan manusia tentang masalah-masalah dasar dalam hidupnya menjadi penentu bagi orientasi nilai kebutuhan dasar hidupnya yang meliputi kebutuhan Pangan, papan dan sandang Dalam kehidupannya manusia  merupakam subyek yang sekaligus obyek dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Meningkatnya kebutuhan –kebutuhan dasar tersebut sejalan dengan  bertambahnya  jumlah manusia itu sendiri serta perkembangan peradaban dan budaya yang diwarnai oleh tingkat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Pada jaman Batu atau Masa Palaeolithicum yang dikenal sebagai Food collecting period, dimana manusia hanya mengenal cara  berburu dan mengumpulkan hasil hutan, mereka hidup berpindah-pindah dan berlindung di dalam gua-gua yang berarti kebutuhan pangan tersedia  atau disediakan oleh alam dan kebutuhan  papan ( tempat tinggal) serta sandang tidak merupakan masalah yang berarti dalam hidupnya


Sejak memasuki Zaman Perunggu atau Masa Neolithicum yang kenal pula sebagai Food producing period,  kehidupan dan penghidupan manusia mengalami perubahan.  Jumlah manusia semakin banyak,   wilayah perburuan  dan wilayah  pengumpulan  hasil hutan semakin terbatas, ditambah pula dengan semakin sulitnya hidup berpindah karena warga bertambah banyak, maka terjadi upaya hidup menetap dan ditemukannya teknologi  pertanian dan peternakan. Dengan kondisi seperti inilah terjadi korelasi antara  penyediaan papan sebagai tempat tinggal  dan penyediaan  hasil pertanian dan peternakan sebagai penyediaan suplai pangan.


Kita memaklumi bahwa untuk kedua kegitan terutama penyediaan papan dan penyediaan pangan, dalam hal ini prasarana Permuliman dan Prasarana Pertanian/Peternakan  obyeknya adalah satu yaitu Lahan, yaitu prasarana untuk membangun permukiman dan juga prasarana /tanah garapan unutuk pertanian. Kita menyadari bahwa lahan yang merupakan bagian daratan dari Bumi kita  ini pada dasarnya relative tidak berubah, sedangkan kebutuhan lahan untuk permukiman dan lahan untuk pertanian bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah pertambahan manusia, maka sejak saat inilah terjadi korelasi antara penyediaan infrastruktur Papan dengan penyediaan infrastruktur Pangan. Hal ini akan terjadi korelasi yang kontradiktif antara kedua kebutuhan tersebut, manakala kedua kebutuhan tersebut sudah melampaui batas tertentu. Selama masih ada toleransi antara kedua kebutuhan tersebut belum terjadi masalah , akan tetapi apabila kedua kebutuhan tersebut  sudah melampaui  titik jenuh maka terwujud korelasi yang  kontradiktif karena pertambahan /manusia/penduduk  menuntut pertambahan lahan permukiman  yang akan “membajak”  lahan pertanian dan tidak sebaliknya, dan akan semakin tajam tingkat kontradiktifnya sejalan dengan   pertambahan jumlah manusia.



KORELASI YANG KONTRAKDIKTIF MASALAH LAHAN DI INDONESIA


Berdasarkan data dari berita mass media, masa kini Negara Indonesia nusantara kita ini termasuk lima besar (kelima) dari jumlah penduduk di Negara - Negara di dunia ini.  Menyimak pidato –pidato kenegaraan Presiden  pada awal-awal kemerdekaan  pernah mengemuka bahwa bangsa kita Indonesia berjumlah hampir mencapai enam puluh juta jiwa ( pada saat  proklamsai kemerdekaan berjumlah sekitar  lima pulu tujuh juta jiwa) yang terkesan dapat ditafsirkan sebagai jumlah yang cukup banyak pada saat itu. Kini jumlah penduduk Negara kita  sudah mencapai lebih dari dua ratus lima puluh juta jiwa, berarti pertambahan penduduk  yang cukup besar lebih dari empat kali jumlah  penduduk pada awala kemerdekaan dalam kurun waktu   enam puluh tujuh tahun , dan bisa dibayangkan jumlahnya apabila sudah seratus tahun  terhitung sejak proklamasi kemerdekaan. Pada saat berpuluh tahun yang lalu  korelasi yang terjadi  masih ada toleransai  yang berarti belum ada kontradidiktif  dimana pertambahan lahan permukiman  (karena pertambahan penduduk)  dapat menggunakan lahan  non produktif yang tersedia atau mengorbankan lahan tanah kering   yang tidak memproduksi  bahan pangan  Dengan berkembangnya jumlah penduduk   maka berkembang pula jumlah kebutuhan lahan guna permukiman termasuk lahan-lahan guna kepentingan fasilitas  umum dan fasilitas social  dengan demikian apabila lahan non pertanian tidak mencukupi maka akan menggunakan  lahan - lahan pertanian. Dengan kata lain bertambahnya penduduk , bertambah pula lahan permukiman tetapi semakin berkuranganya lahan pertanian , padahal kebutuhan pangan bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk.  Hal ini  akan terus berkembang selama   manusia/penduduk bertambah dan suatu ketika akan mencapai titik kulminasi yang membahayakan terutama yang terjadi di Pulau Jawa, sedangkan untuk di daerah/ Pulau lainnya tingkat kerawanannya masih relative rendah atau di beberapa daerah tertentu  nyaris berlum terjadi.


PROSES PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN


Pada masa-masa yang lalu, pengadaan kebutuhan akan perumahan, masyarakat secara swadaya dan atau gotong royong  dengan menyiapkan segala kebutuhannya baik bahan bangunan maupun mempersiapkan lahannya. Ada mitos di sementara kalangan masyarakat daerah tertentu yang menyatakan bahwa orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang laki-laki untuk membuatkan rumah sepekarangannya, sedangkan untuk anak perempuan berkewajiban mengawinkannya. Hal terus terjadi bertahun-tahun  sampai suatu ketika pihak pemerintah mensinyalir adanya kendala-kendala yang disebabkan terutama rendahnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sarana tempat tinggalnya.


a, Kebijaksanaan Pemerintah di bidang Perumahan dan Permukiman


Untuk maksud menanggulangi kebutuhan Perumahan dan Permukiman, pada sekitar  decade tahun tujuh puluh –delapan puluhan, Pemerintah  turun tangan dengan membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumahnya (terutama di Pulau Jawa) yang bisa dimilki secara angsuran ( Yang pada awalnya dalam bentuk sewa-menyewa) melalui Badan Usaha Pemerintah yaitu  PERUMNAS. Secara teoritis pengadaan perumahan dan permuliman dilaksanakan di lahan non produktif tetapi kenyataan di lapangan mengingat kebutuhan melampaui tersedianya lahan non produktif maka ada sebagian lahan pertanian yang dialihfungsikan (terutama didaerah yang berstatus Kota/Kotamadya sifatnya non agraris). Sebagai  ilustrasi pada decade tahun tujuh puluh –delapan puluhan ( 1970-1980) di daerah Kotamadya Daerah Tingkat II (pada saat itu) dibangun sekitar 450 (empat ratus lima puluh ) unit rumah di atas lahan pertanian tadah hujan dalam kota. Yang berarti apabila satu unit rumah dihuni oleh satu keluarga rata-rata terdiri empat penghuni, ada  pertambahan   tempat kediaman penduduk (migrasi dalam kota) untuk sekitar seribu delapan ratus orang penduduk. Dalam upaya ini terjadi adanya pengurangan  lahan pertanian, tetapi dapat ditolerir karena Kota Cirebon dipersiapkan jadi daerah non agraris , dengan pertimbangan penyediaan  kebutuhan pangan  mendapat pasokan dari daerah hinterland sekitarnya.

Dalam upaya intensifikasi  kebijakan pemerintah dibidang perumahan dan permukiman diterbitkan produk hukum yang berupa Undang-undang  Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.

Dalam Penjelasan Undang-undang tersebut dikemukan antara lain:


Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.


Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilikan, setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan  dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh Pemerintah agar supaya  penggunaan dan pemanfaatannya dapat  menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan social dalam proses bermukimnya masyarakat.


b. Partisipasi Badan Usaha Masyarakat / Swasta di bidang Perumahan dan Permukiman


Sejalan dengan perkembangan  jumalah penduduk/masyarakat  yang di ikuti dengan adanya pertambahan kebutuhan di bidang papan dalam hal ini perumahan dan permukiman, Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada msyarakat untuk berpartisipasi sebagaimana teruang  dalam UU RI No. 4 Tentang Perumahan dan Permukiman  Bab. V Peran Serta Masyarakat:

Pasal 29

(1)   Setiap warga Negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman

(2)    Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakuka secara perorangan atau dalam bentuk usaha bersama

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tumbuh kembang Badan Usaha Milik Masyarakat dalam  usaha penyediaan kebutuhan masyarakat di bidang pengadaan Perumahan dan permukiman. Dimana - mana khususnya di daerah Pulau Jawa muncul Badan Usaha Properti di bidang Perumahan dan Permukiman bagaikan tumbuhnya jamur dimusim penghujan. Dalam hal ini terjadi pergeseran  status perumahan yang  tadinya   lebih bersifat social  cenderung beralih menjadi komoditi  barang dagangan. Dengan kondisi seperti ini maka berlakulah hukum ekonomi yang berusaha menekan serendah mungkin pngeluaran dan setinggi mungkin mencapai keuntungan, yang kadang –kadang ada rekayasa kurang etis yang terjadi di bidang  perdagangan,  terjadi pula pada kasus pengadaan perumahan dan permukiman dengan berbagai dalih yang sepintas kilas dapat dipertanggung jawabkan.


c.  Dampak Negatif dari Korelasi yang  Kontradiktif  dalam pengadaan lahan.


Sebagaimana telah dipaparkan terdahulu bahwa  terjadi korelasi yang kontradiktif dalam  pengadaan lahan Bidang Perumahan dan Permukiman dengan pengadaan lahan bidang pertanian.  Sepanjang   masih ada lahan kosong yang tidak produktif/tidak digunakan sebagai lahan pertanian, maka korelasi yang kotradiktif tersebut tidak akan berpengaruh terhadap tata kehidupan manusia  terutama yang menyangkut  pasokan kebutuhan pangan.


Tetapi kondisi tersebut  tidak dapat dipertahankan sepanjang  pertumbuhan  jumlah manusia tetap berlanjut yang akan diikuti oleh bertanmbahnya  aspek kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan pangan, papan dan pangan, hal tersebut  dapat disaksikan dan dirasakan  semakin lama semakin nyata korelasi kontradiktif tersebut semakin tajam. Dimanapun kita berada (di daerah Pulau Jawa khususnya) secara “kasat mata” sudah kita saksikan terjadinya proses  pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi daerah Perumahan dan Permukiman. Bahkan mungkin diantara kitapun justru menghuni perumahan yang dibangun oleh Pengembang (developer) di atas lahan bekas lahan pertanian yang subur.


Kondisi Kontradiktif  yang semakin tajam ini selain terjadi karena kodrat alamiah,  keadaan tersebut diperparah pula oleh sikap masyarakat sendiri, baik sebagai pelaku Badan Usaha Pengembang maupun msyarakat sendiri sebagai pemilik lahan pertanian, yang terjadi adalah “ bias” penafsiran Peraturan Perundang-undangan  untuk  mencapai tujuannya. Pengembang mengatur sedemikan rupa sehingga pemilik lahan (pertanian) terpaksa melepaskannya, dilain pihak pemilik lahan karena tergiur oleh lembaran yang menyilaukan rela membuat tanah garapannya dibiarkan tidak digarap sehingga terkesan non produktif.  Hal ini merupakan dampak negative dari proses pengadaan perumahan yang apabila tidak diadakan penggulangan secara intensif dan terpadu,  cepat atau lambat masyarakat kita  akan mengalami krisis pangan.


UPAYA MEREDAM DAMPAK NEGATIF  DARI KORELASI YANG KONTRADIKTIF.


Sebagaimana telah di uaraikan terdahulu, bahwa korealasi  yang kontradiktifantara pengadaan lahan perumahan dengan lahan pengadaan pangan, suatu hal yang tidak mungkin dapat dihindarkan  mengingat kedua hal tersebut  mempunyai obyek yang sama  yang sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk akan semakin tajam kontradiksinya.  Suatu hal yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan meredam tingkat ketajaman kontradiksinya  sekaligus menghapus dampak negatifnya. Langkah yang bisa diambil cukup berat dilakukan karena memerlukan kesungguhan dan beberapa pengorbanan  dari semua yang terlibat, tetapi dengan segala upaya yang didukung oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang canggih keberhasilan dimungkinkan.


Kita memaklumi bahwa Pemerintah telah berusaha usaha kearah itu dengan berbagai  baik

dalam bentuk tindakan dan penyuluhan maupun bentuk  peranturan . Sebagai contoh  beberapa waktu yang lalu pada masa Orde Baru telah ada langkah  untuk membuka lahan pertanian yang mungkin dalam luasan ribuan hektar di tanah gambut di Kalimantan, tetapi sayangnya hingga saat ini tidak atau belum terdengar realisasinya. Demikian pula ada langkah lain dari Pemerintah dengan mengadakan Transmigrasi yang akan memberi keseimbangan penduduk dan lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa , sehingga pertambahan penduduk  di Pulau jawa dapat diredam yang memungkinkan  proses pembangunan perumahan yang dapat mempengaruhi jumlah lahan pertanian dapat dihambat laju pertumbuhannya.


Ada beberapa langkah yang diusulkan atau menggaris bawahi langkah yang sudah dilakukan baik yang telah dilakukan oleh Pemerintah atau usaha swadaya dari masyarakat, sebagai berikut:

a.      Intensifikasi Kebijakan dan Pengaturan di Bidang Properti.

Pada saat ini terkesan para Pengembang berlomba-lomba menyiapkan rumah-rumah mewah yang  dengan penggunaan lahan yang luas, sehingga secara kuantitas jumlah rumah pada suatu kawasan tertentu relative daya tampungnya sedikit.  Untuk ini seyogianya ada pengaturan pembatasan  baik secara kuantitas rumahnya maupun secara kuantitas lahannya, demikian pula pula dalam pembatasan luas lahan, apabila diinginkan untk mendapat luasan ruang, untuk dirancang secara vertical.


KORELASI  YANG KONTRADIKTIF ANTARA PENGADAAN INFRASTRUKTUR “PAPAN” DENGAN INFRASTRUKTUR “PANGAN”


Sebetulnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan Pengembang  membangun perumahan dan permukiman dengan konsep Pola Hunian 1 : 3 ; 6 untuk proyek berskala kota . Yang di maksud dengan Konep 1 ; 3 ; 6, adalah Pengembang di wajibkan dalam  menjalankan usaha propertinya , membanguna dengan perbandingan satu buah Rumah Mewah, tiga untuk rumah menengah dan enam untuk rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) Bila konsep ini intensif dilaksanakan dengan paradigma baru  dimana bangunan  ditata lebih secara vertical , maka kebutuhan akan lahan untuk hunian secara kuantitas dapat ditekan yang  memberi dampak positif terhadap  kondisi lahan pertanian.


Akan lebih baik apabila  perumahan di daerah perkotaan diupayakan untuk  membangun perumahan susun digalakkan, sehingga dengan lahan sedikit dimungkinkan dapat menampung unit-unit hunian secara maksimal. Kiata menyadari bahwa telah banyak rumah susun yang telah dibangun tetapi setelah dihuni ternyata ditinggalkan sehubungan dengan  adanya kendala dalam pengaturan utilitas bangunan. Sebetulnya kendala yang demikian dapat dihindarkan apabila dibangun tidak asal-asalan , dengan  menggunakan teknologi yang canggih yang sedemikian dapat di atasi.


Apabila rumah susun dibangun dengan teknologi yang memadai, sebetulnya bukan factor fisik bangunannya yang akan jadi masalah setelah dibangun, tetapi  factor social yang mungkin timbul setelah dihuni. Hal ini menyangkut budaya  masyarakat kita yang mungkin belum siap untuk hidup di perumahan yang demikian , seperti telah dipaparkan  terdahulu perlu ada pengorbanan baik dari para  pemuka masyarakat yang  berpotensi sebagai pembinan maupun masyarakat itu sendiri untuk penyesuaian diri.


b.    Intensifikasi di Bidang Pertanian

Sebagaimana  kita maklumi bahwa Negara kita termasuk Negara  agraris , tetapi khususnya di Pulau Jawa seperti telah dikemukakan lahan pertanian terancam oleh kebutuhan lahan untuk permukiman . Sehubungan dengan hal itu perlu ada usaha lain  untuk dapat  memenuhi kebutuhan  tambahan pangan sejalan dengan pertambahan penduduk. Mungkin cukup klise apa  yang akan di  kemukakan, namun selain sebagai usulan  diharapkan paparan ini merupakan “penggaris bawahan” terhadap segala upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat:


(1)  Intensifikasi Lahan Pertanian Pangan,  pada saat ini produksi pertanian umumnya di Negara kita cukup rendah, dengan tata cara baru dan didukung oleh ketekunan serta teknologi yang cangggih  produksi perhektar khususnya padi dapat lebih ditingkatkan. Disadari bahwa  intensifikasi lahan pertanian ini sudah dilakukan, namun alangkah baiknya langkah ini lebih ditingkatkan lagi. Dengan demikian untuk lahan yang sama produksi  jauh meningkat.


(2) Intensifikasi Media Tanam  Dengan berkembangnya dan kemajuan teknologi , memungkinkan  dalam bidang pertanian  menggunakan lahan  lain  tidak hanya tanah. Dalam beberapa kegiatan percobaan bidang pertanian telah dilakukan proses penanaman  dengan media  air yang dikenal secara hidrofonik. Dengan intensifikasi proses penanaman tanaman pangan secara  hidroponik, memungkinkan dapat  mengurangi kebutuhan  lahan /tanah sebagai media tanam.


(3). Pemanfaatan Biota Kelautan., Negara kita selain agraris adalah negara maritime dimana luas wilayah sebagian besar berbentuk lautan. Didalam laut terkandung kekayaan  yang merupakan tantangan  untuk dieksploitasi dan diolah sebagai bahan pangan di luar ikan yang sudah di manfaatkan  sejak dahulu.

KORELASI  YANG KONTRADIKTIF ANTARA PENGADAAN INFRASTRUKTUR “PAPAN” DENGAN INFRASTRUKTUR “PANGAN”


c.      Pengendalian Kependudukan.


Telah kita ketahui bersama  bahawa manusia/penduduk merupakan factor penentu  dalam hubungannya dengan  kebutuhan dasarnya  sehingga setiap perubahan kodisi manusia akan sangat berarti terhadap aspek kebutuhan dasarnya yang meliputi  kebutuhan pangan, papan dan sandang. Dengan demikan terjadinya Korelasi yang kontradiktif dalam pengadaan lahan perumahan dan pertanian sangat tergantung kepada  kondisi manuasia tersebut. Dengan langkah pengendalian jumlah penduduk,  akan  member akibat berkuranganya  terhadap  kebutuhan dasarnya , yang berarti korelasi  kontradiktif  dalam pengadaan lahan perumahan dan pertanian dapat  diredam. tingkat ketajamannya yang berate dapat diturunkan dampak negatifnya.


Upaya  pengendalian ini sudah dilakukan dengan  pemerataan  penyebaran  melalui transmigrasi dan terutama dalam menurunkan kuantitas tingkat  pertumbuhannay melalui Program Keluarga Berencana (KB). Meskipun Program ini telah digalakkan  tetapi dirasakan belum berhasil sebagaimana yang di harapkan,  ada kendala terutama dari kalangan masyarakat tingkat kesadarannya   masih  perlu dibina . Untuk ini diusulkan dengan cara  meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya  pengendalian kependudukan dan adanya usaha Pemerintah untuk menurunkan target Standar prosentase kelahiran  rata-rata di setiap daerah.

d.   Paradigma baru dalam pola makan.


Mungkin hal yang akan diuraikan berikut ini cukup ironis, namun nyatanya  hal ini terjadi  pada umumnya masyarakat kita  Bagi sebagian  besar masyarakat bangsa kita pada masa kini makanan utamanya adalah nasi sehingga ada  citra bahwa apabila belum makan nasi  belum  Makan.

Ada anecdot yang   terjadi dialog antara teman di masyarakat :

A : Kamu sudah makan ?

B.  Belum.

A.  Lho tadi pagi kamu makan bubur ayam

B.  Bukan, itusih sarapan.

A.  Tadi jam sepuluh makan baso

B.   Oh itusih , jajan

A.   Lha tadi  masuk ke warung Bu Minah pesan nasi rames.

B.  Nah, itu baru makan

Demikian pula tentang makan terutama  dikalangan masyarakat rendah, bahwa agar kuat bekerja harus makan banyak, dengan  demikian yang  jadi ukuran adalah masalah kuantitas makan bukan kualitasnya.

Sehubungan dengan  hal tersebut,  untuk mengatasi ketergantungan terhadap kuantitas kebutuhan pangan yang berdampak terhadap kebutuhan lahan pertanian, perlu segoyianya ada pola baru dalam Makan.

Untuk tersebut ada dua hal yang diusulkan.yang menyangkut citra masyarakat dalam hal Makan

(1). Perlu ada peningkatan kesadaran masyarakat, bahwa hal banyaknya Makan bukan hal satu-satunya untuk meningkatkan kekuatan, melainkan kualitas  gizinya dan bukan kuntitas jenis makannya.

(2)   Mengurangi ketergantungan terhadap Makan Nasi dan banyaknya yang dimakan, bahwa manusia hidup  tidak semata-mata hanya makan nasi, tetapi ada jenis makanan yang gizinya memadai dengan kuantitas bahannya tidak sebanyak nasi.

Disadarai bahwa dalam upaya perubahan pola makan akan sulit diterapkan, setidak-tidaknya memerlukan waktu yang lama dan usha  yang serius, tetapi tersebut perlu dicoba demi kesejahteraan  masyarakat pada umumnya.







 -------------------------------------------------------------------------------------------





















DAFTAR  PUSTAKA



A.  Bagoes P. Wiryomartono: Seni Bangunan dan Seni Binakota  di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1995

Boedi Harsono SH: Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, 1982

Pemerintah RI: UU RI  No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman,  CV.Eko Jaya ,Jakarta 1992.

Pemerintah RI Undang-undangRI No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,Harvarindo, Jakarta,2000

Pemerintah RI Undang-undang RI No. 26 Fh,2007 Tentang Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta,2007

Sumaatmadja, Prof,DR.H. Nursid: Manusia, dalam konteks Social, Budaya dan Lingkungan hidup CV Alfabeta Bandung, 1998.

Suparno Sastra.M, EndY Marlina: Perencanaan dan Pengembangan  Perumahan,  Andi Yogyakarta, 2005.

Suriasumantri, S.J.: Filsafat Ilmu, sebuah pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,1988


























Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak