KAJIAN EKO-HIDRAULIS SEHUBUNGAN DENGAN MASALAH BANJIR DI INDONESIA

Inspirasi Pintar,-

KAJIAN EKO-HIDRAULIS

SEHUBUNGAN DENGAN MASALAH BANJIR DI INDONESIA

IKIN SOLICHIN



ABSTRAK

Sehubungan dengan masalah banjir yang selalu terjadi sedikitnya ada 5 faktor penting penyebab banjir di Indonesia yaitu : Faktor  hujan, faktor hancurnya retensi Daerah Aliran Sungai (DAS), factor kesalahan perencanaan pembangunan alir sungai, faktor pendangkalan sungai dan faktor kesalahan tata wilayah dan pembangunan sarana – prasarana. Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya  hujan dapat menimbulkan banjir. Terjadi atau tidaknya peristiwa banjir justru sangat tergantung dari keempat factor penyebab lainnya.


Perubahan tata guna lahan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis juga ekosistem akan secara simultan rusak. Penyelesaian dengan pulurusan , sudetan dan pembuatan tanggul justru akan menyebabkan banjir besar terutama terjadi di hilir dan kerusakan ekologi sepanjang sungai.  Proses sedimentasi/pendangkalan di bagian hilir akibat dari rusaknya DAS bagian hulu dan juga karena pelurusna sungai dan sudetan yang dapat mendorong peningkatan erosi di hulu dan terjadi sedimentasi di hilir. Penerapan kawasan permukiman atau pusat perkembangan justru di daerah rawan banjir dan longsor. Terlebih lagi  perkembangan tata wilayah juga sering tidak dikendalikan, sehingga pada kerusakan DAS dan menjarah daerah resapan. Kelima factor tersebut perlu digarap secara intensif dalam penanggulangan banjir



Kata kunci: Banjir, Hujan, DAS, Pelurusan, Sudetan, Tanggul, Erosi, Tata wilayah.



PENDAHULUAN

Sehubungan dengan datangnya musim hujan di Indonesia, hampir bisa di pastikan identik dengan terjadinya banjir , hal ini terus-menrus terjadi di hampir seluruh wilayah di tanah air.


Mendesak sekali permasalahan banjir yang terus menerus terjadi di Indonesia untuk dikaji secara mendalam baik secara teknis hidraulis maupun secara ekologis. Banjir dengan diikuti tanah longsor yang menghantam di berbagai daerah tiga puluh tahun terakhir ini seperti di Aceh, Lampung, Jakarta, Bandung, Cilacap, Purwokerto, Kebumen, Pekalongan, Gorontalo dan daerah lainnya hampir diseluruh Indonesia,


Seperti yang dapat kita simak dalam berita melalui mass media, baik media cetak maupun media elektronik akhir-akhir ini, betapa meresahkannya dampak yang terjadi akibat terjadinya bencana banjir, yang mengakibatkan terjadi kerugian harta benda yang luar biasa dan  diikuti oleh korban jiwa yang diderita tidak sedikit . Hal ini tidak sepenuhnya hanya bisa kita ratapi bersama sebagai bencana alam atau bahkan kita mengkambing hitamkan hujan deras sebagai penyebab tunggalnya. Sehubungan dengan hal tersebut, sementara masyarakat memandang dan mengajukan solusi yang sifatnya  sangat teknis untuk mengatasi permasalahan banjir tersebut. Sementara penyelesaiannya dengan pendekatan yang Holistik ekologis hidraulis belum banyak dikenal apalagi diimplementasikan.



KAJIAN EKO-HIDRAULIS SEHUBUNGAN DENGAN MASALH BANJIR DI INDONESIA



FAKTOR – FAKTOR  PENYEBAB TERJADI BANJIR


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa  terjadinya banjir disebabkan oleh berbagai faktor, selain sebagai peristiwa yang disebabkan oleh gejala alam tetapi juga  dan mungkin paling utama oleh ulah manusia yang dilatar belakangi oleh  ketidak tahuannya , kecerobohannya  bahkan oleh ulah yang bersifat tidak etis.


Seluruh faktor-faktor penyebab terjadinya banjir harus diungkap, jalan pemecahannya perlu dicari dan ditindak lanjuti secara serius. Sedikitnya ada lima faktor penting penyebab banjir di Indonesia yaitu: Faktor terjadinya hujan, faktor hancurnya retensi Daerah Aliran Sungai (DAS), factor kesalahan perencanaan pembangunan alur sungai, factor pendangkalan sungai dan faktor kesalahan tata wilayah dan pembangunan sarana-prasarana. Kelima faktor tersebut akan dibahas dengan kacamata teknis ekologis seberti di bawah ini.



1. FAKTOR HUJAN


Hujan merupakan fenomena alam terutama di daerah tropis yang selalu terjadi di muka bumi  ini melalui siklus tahunan, sangat di butuhkan oleh manusia  dan  unsur alam lainnya baik flora maupun fauna serta memberikan dukungan terhadap kestabilan ekosistem, tetapi sangat dihindarkan dampak negatifnya  yang bisa menimbulkan bencana banjir.


Hujan bukanlah penyebab utama terjadinya banjir dan tidak selamanya hujan akan dapat menimbulkan banjir. Sebagai bukti banjir-banjir susulan di beberapa bagian kota Jakarta yang hampir selalu terjadi, hanya disebabkan oleh hujan normal dengan waktu yang tidak lebih dari satu jam saja. Terjadi atau tidaknya banjir justru sangat tergantung dari  keempat faktor lainnya yang sudah dikemukan tersebut di atas.. Karena secara statistik hujan sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari peristiwa hujan yang telah terjadi di masa lalu.


Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, danau, ngarai, cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi tersebut memperlihatkan secara jelas dimana lokasi-lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai. Menghindarkan hujan yang  memungkinkan terjadinya banjir ini sangat sulit, , bahkan mustahil karena hujan adalah faktor ekstern yang di gerakan oleh  iklim makro / global. Perubahan iklim makro/global hanya dapat dilakukan dengan kegiatan global pula, sehingga dari sisi perubahan iklim global sulit untuk direalisasikan.


Usaha yang masih bisa dilakukan adalah menjauhkan pemukiman, industry dan pusat pertumbuhan lainnya dari daerah banjir yang sudah secara historis dipetakan oleh hujan. Untuk mengurangi kerugian banjir akibat hujan ini, bisa dikembangkan fungsi Warning. Dengan cara mengukur tinggi hujan diberbagai tempat dan dibuat kurva hubungan antara  curah hujan (tinggi hujan) yang turun dengan tinggi muka air sungai yang akan terjadi. Dapat pula dengan mengembangkan teknik monitoring cuaca, sehingga hujan yang sifatnya ekstrim akan dapat terdeteksi sebelumnya.

2. FAKTOR DAERAN ALIRAN SUNGAI  (DAS)


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan  di bagian hulu. Selama ini masyarakat secara masal tidak memahami kemampuan DAS baik dari segi teknis mapun ekologis sebagai faktor penting kaitannya dengan banjir, erosi, kekeringan dan lain-lain. Perubahan tata guna lahan, misalnya dari hutan di jadikan lahan pertanian, perkebunan, perumahan  atau lapangan  golf selain akan menyebabkan retensi DAS tersebut berkurang secara drastis juga ekosistem akan secara simultan mengalami kerusakan.


Selanjutnya pola pemukiman yang ada di Indonesia umumnya cenderung menyebar memenuhi seluruh kawasan DAS,  sehingga daya rusak terhadap ekologis dan lingkungannya jauh lebih tinggi, disbanding dengan pola pertumbuhan mengumpul. (satelit). Pola permukiman ini dalam waktu relatif pendek akan merusak DAS secara distruktif. Contoh untuk hal ini adalah pola pertumbuhan pemukiman di Jakarta – Bogor, Yogyakarta –Sleman, Semarang- Ungaran, Bandung hulu-hilir, Medan dan kota-kota lainnya. Dengan kondisi tersebut maka DAS akan memiliki retensi yang sangat rendah, sehingga seluruh air hujan di DAS  akan dilepaskan ke hilir tanpa retensi yang berarti. Sebaliknya,  semakin besar retensi suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan ( diretensi) di DAS tersebut dan secara perlahan-lahan dialirkan kesungai sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil,sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sunga dapat stabil.


Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara;  program reboisasi dan program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain; mengaktifkan reservoir-rservoir alamiah; pembuatan resapan-resapan air hujan alamiah, dan pengurangan atau menghindarkan sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat mengakibatkan sulitnya air hujan meresap ke dalam tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap secara alamiah  ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara masal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran sosial yang intensif dan terus menerus.

3. FAKTOR KESALAHAN PEMBANGUNAN ALUR SUNGAI


Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad ke 16 hingga akhir abad ke 20 di seluruh dunia adalah hamper sama, yaitu dengan konsep hidraulis murni yaitu berupa normalisasi, pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, pembetonan dinding, dan pengerasan tampang sungai. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini  juga mengalami hal yang serupa. Intinya pola ini adalah mengusahakan air sungai akibat hujan  secepat-cepatnya  dikuras ke hilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir. Konsep ekologi-hidraulis dalam penanggulangan banjir disepanjang alur sungai sampai sekarang ini belum mengalami perkembangan sama sekali.


Pola pelurusan dan sodetan seperti dikemukakan di atas jelas mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume air yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Jika penampang sungai di tempat tersebut tidak mencukupi maka akan terjadi peluapan air ke bagian bantaran. Jika bantaran idak cukup menampung luapan, bahkan mungkin telah penuh dengan rumah-rumah penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akhirnya areal banjir semakai melebar atau bahkan alirannya dapat berpindah arah dan  bila terhambat terjadi kenaikan permukaan aliran banjir.

Pelurusan dan sudetan sungai pada hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir disuatu tempat dengan cara ini pada hakekatnya merupakan penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian hilirnya. Akibat lainnya adalah terjadinya kerusakan ekologi dan ekosistem sungai secara menyeluruh.


Oleh karena itu pola penanganan masalah banjir di Indonesia pada saat ini sudah tidak lagi seperti cara-cara tersebut di atas, namun dengan menggunakan prinsip integralistik yaitu One River- One Plan and One Integrated Management.


Prinsip ini umumnya oleh pihak yang berwenag (jajaran KIMPRASWIL dan Pemerintah) masih dipahami secara adiministratif saja, sedangkan subtansi pokok yang harus dikelola tidak atau belum mendapat perhatian Integrated Management harus di artikan juga sebagai pengelolaan integral baik komponen biotik maupun abiotik yang menyusun sistem sungai yang bersangkutan.


Dengan prinsip ini maka banjir juga perlu dibagi secara integral sepanjang sungai menjadi banjir kecil-kecil,  guna menghindari banjir besar yang destruktif di suatu tempat tertentu.Justru banjir kecil-kecil di alur sungai tersebut sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup ekosistem sungai dan DAS serta konservasi air hulu-hilir. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River atau Let River Be Ekological River. Implikasinya dalam penaggulangan banjir, justru sungai alamiah yang bermeander, bervegetasi lebat dan memilki retensi alur yang tinggi ini, perlu dijaga kelestariannya karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi.

4. FAKTOR PENDANGKALAN


Faktor pendangkalan sungai termasuk yang penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti  terjadinya pengecilan penampang sungai, sehingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya  dan akhirnya  meluap dan terjadilah banjir.


Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan (sedimentasi) terus menerus terutama di bagian hilir sungai . Proses sedimantasi di bagian hilir ini dapat disebabkan oleh erosi yang intensif di bagian hulu sungai. Erosi ini selain merupakan akibat dari rusaknya DAS bagian hulu sungai hingga tanahnya  mudah erosi juga karena pelurusan sungai dan sodetan yang mendorong peningkatan erosi di bagian hulu. Material tererosi ini akan terbawa aliran dan lambat laun diendapkan di bagian hilir hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai ini  sudah sangat serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah hilir/muara di wilayah Indonesia.  Untuk itu perlu segera disosialisasikan dan dilakukan perbaikan DAS dengan pelarangan penjarahan hutan dan penghentian HPH, pencegahan erosi di hulu secara alamiah dan simultan serta peninjauan kembali proyek-proyek pulurusan dan sudetan-sudetan sungai yang tidak perlu.


Selain hal tersebut di atas, pendangkalan sungai juga dapat diakibatkan oleh akumulasi endapan sampah yang dibuang masyarakat ke aliran sungai. Sampah domestik yang dibuang oleh masyarakat ke sungai terutama di kota-kota besar akan berakibat terjadinya pendangkalan dan penutupan alur sungai sehingga aliran tertahan akhirnya  sungai meluap. Berbagai penelitian sungai di Indonesia  mencatat bahwa setiap sungai yang melintasi kawasan pemukiman disamping kualitasnya sangat buruk juga kandungan  sampahnya tinggi. Maka sudah sangat mendesak untuk diadakan sosialisasi peraturan pelarangan dan sangsi pembuangan sampai ke sungai bahkan jika perlu dibentuk polisi sungai (atau sejenisnya) yang bertugas menjaga lingkungan sungai secara professional.

5. FAKTOR TATA WILAYAH DAN PEMBANGUNAN SARANA-PRASARANA


Kesalahan  fatal yang sering di jumpai dalam perencanaan tata wilayah adalah penetapan kawasan pemukiman  atau pusat perkembangan justru di daerah-daerah rawan banjir dan longsor. Terlebih lagi perkembangan tata wilayah juga sering  tidak bisa dikendalikan, sehingga mengarah ke daerah banjir. Sebagai contoh, banyak sekali  perumahan baru yang dibangun di daerah bantaran dan tebing sungai yang rawan banjir dan longsor. Pola settlement yang menyebar ke seluruh DAS yang punya daya rusak yang sangat besar terhadap DAS merupakan kesalahan fatal yang sekarang ini masih dilakukan. Demikian juga banyak terjadi bahwa  pembangunan jalan tol, jalan provinsi, tanggul, saluran drainase justru dapat  menyebabkan terjadinya banjir di kawasan tertentu karena salah dalam perencanaannya, sehingga air tertahan tidak bisa lancar keluar dari kawasan tersebut atau semua air mengalir menuju kawasan tersebut sehingga menyebabkan banjir. Bahkan konsep masterplan drainase yang sekarang dianut di seluruh Indonesia adalah drainase yang dapat mendatangkan banjir, yakni konsep drainase yang secepat-cepatnya mematuskan air kelebihan ke sungai. Dengan demikian sungai-sungai tidak  mampu menampung air tersebut sehingga meluap dan juga di bagian hulu terjadi devisit air  setelah dipatuskan. Penyelesaian masalah ini tidak bisa dijeneralisasi, diperlukan semakin banyak orang ahli atau tahu mengeani masalah banjir baik berskala mikro mapun makro yang bisa merencanakan pembangunan tanpa menimbulkan banjir di kawasan yang bersangkutan dan kawasan lain sekitarnya.


PENUTUP


Berdasarkan pemaparan   tersebut di atas,  maka kelima factor yang telah dikemukakan, secara integral perlu mendapat perhatian serius oleh seluruh ahli banjir di Indonesia guna menghindari dan menanggulangi banjir secara integral. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa banjir bukanlah masalah teknis belaka, namun lebih kemasalahTekno-ekologis dan aspek lainnya dalam hal mana manusia sebagai mahluk sosial masuk di dalamnya.  Masyarakat sebagai pengguna obyek lingkungan kawasan yang kebanjiran perlu dilibatkan juga sebagai subyek dalam menanggulangi terutama dalam usaha pencegahan terjadinya banjir.


Sebagai telah di utarakan bahwa dalam pembicaraan faktor-faktor penyebab terjadinya banjir  masyarakat turut terlibat, diantaranya  dalam terjadinya kerusakan hutan dan  kerusakan retensi DAS  di daerah hulu, serta penyebab terjadinya pendangkalan penampang sungai terutama di wilayah perkotaan akibat tumpukan sampah yang di buang ke sungai. Kepada mereka ini diperlukan adanya pemberian pengetahuan dan kesadaran untuk mengubah perilaku yang tidak terpuji yang dapat mengakibatkan terjadinya banjir.


Suatu saat perlu rasanya Indonesia  mempunyai ahli-ahli banjir yang mumpuni, adanya kursus atau penataran kepada masyarakat  tentang penanggulangan  dan pencegahan terjadinya banjir, serta adanya peraturan diserati dengan sanksi pelanggaran  dan lembaga perangkat pengamanan dalam menghadapi masalah banjir.











Daftar Pustaka.

Dep.Pendidikan dan Kebudayaan: Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Balai Pustaka, 1994

Harnowo  S:  Bio – Engineering, Seminar ASEHI, Proceeding ASEHI, Yogyakarta,2001.

Liliawati,Eugenia : UU. NO. Tahun1997, Pengeloaan Lingkungan Hidup, Harvarindo, 2000

Maryono A, Eisenhauer N,Muth W; Hidrolika Terapan, Penerbit Paramita Jakarta ,2002

Program Teknik Sipil Universitas Atmajaya : Jurnal Teknik Sipil,Vol 2 Yogyakarta 2002.

Pat et al, Naturnaher Gewaesserausbau (Renaturalisasi sungai /Wilayah keairan) SpringerVerlag, Berlin, 1999.

Shadily,Hassan, Cs : Ensiklopedi Indonesia,  Ichtiar Baru-Van Hoeve,Jakarta 1983

UU RI No. 26 Tahun 2007tentang Penataan Ruang  ,  Fokusmedia, Bandung, 2007






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak