Hukum Niat, Bagaimana hukum niat dalam puasa Ramadhan dan puasa sunnah lainnya?
Pertanyaan:
Bagaimana hukum niat dalam puasa Ramadhan dan puasa sunnah lainnya? Apakah boleh niat puasa pada siang hari ketika kita lupa niat pada malam hari? Terima kasih.
Jawaban:
Keberadaan niat dituntut (wajib) dalam setiap jenis ibadah termasuk puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah. Ada beberapa hal yang terkait dengan persoalan niat puasa, dan persoalan ini juga menjadi perbedaan pendapat para ulama.
Berikut di antara pendapat para imam madzhab tentang seorang yang lupa niat puasa di malam hari.
1. Pendapat Imam Syafi’i
Harus tabyit niat (niat di malam hari), sehingga bila lupa niat di malam hari harus imsak (tidak makan dan minum dan sebagainya) di siang harinya, selain juga berkewajiban meng-qodlo puasanya.
2. Pendapat Imam Hambali
Ia berpendapat seperti halnya Syafi’iy. Menurutnya puasa fardlu atau wajib tidak sah kecuali niatnya telah dilakukan/kerjakan pada malam hari. Pendapat ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa tidak bertekad untuk berpuasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
Adapun niat puasa tathawwu/sunnah boleh dilakukan sebelum siang hari dan berbeda dengan Syafi’i sesudahnya. Dengan catatan, seseorang belum makan apa-apa sesudah fajar terbit.
Imama Hanbali berpendapat bahwa siapapun yang hatinya telah tergerak untuk berpuasa pada esok hari, berarti dia telah berniat untuk berpuasa, oleh madzhab ini dipandang wajib yaitu bertekad pada esok hari untuk berpuasa Ramadhan, atau puasa qadha, puasa nadzar atau puara kafarat.
3. Pendapat Imam Hanafi
Orang yang lupa berniat di malam sebelumnya kemudian kesiangan bangun, lalu langsung berpuasa Ramadhan. Dia tidak juga sempat makan sahur. Maka puasanya tetap sah dan tidak perlu dibayar di luar Ramadhan.
Ketentuan ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan puasa sunnah. Beda halnya untuk puasa yang sifatnya utang. Haruslah berniat pada malam harinya.
4. Pendapat Imam Malik
Boleh niat puasa Ramadhan setelah terbit fajar yaitu jika benar-benar tidak sengaja untuk bangun kesiangan.
Sama seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki pun memberlakukan ketentuan ini untuk puasa Ramadhan, maupun puasa sunnah. Bahkan diperbolehkan untuk berniat puasa Ramadhan untuk sebulan penuh.
Dalam hal ini, menurut pendapat para ulama mayoritas, untuk lebih amannya lagi. Sebaiknya kita berniat puasa setelah Maghrib untuk berpuasa di esok harinya. Dengan begini, kita tetap bisa melanjutkan untuk puasa Ramadhan meskipun bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur.
Adapun lafadz niat puasa Ramadhan, bisa diucapkan dengan lisan (bantuan lisan, karena yang wajib adalah menghadirkan dalam hati). Atau juga bisa diniatkan di dalam hati saja. Meskipun tidak harus sesuai dengan niat lengkap untuk sahur. Karena dalam hati pun sudah merupakan niat dan dihitung oleh Allah SWT.
Namun, sekali lagi ditekankan dan disarankan bahwa dalam sahur itu ada keberkahan tersendiri. Sehingga, kita harus pandai-pandai membagi waktu ibadah, waktu belajar, waktu kerja, dan waktu istirahat kita sesuai porsi masing-masing. Dan meniatkan untuk bangun lebih awal, berniat puasa Ramadhan dan bangun sahur. Karena bila kita telah terbiasa dengan waktu yang disiplin, maka insyaallah segalanya akan berjalan dengan lancar.
Sedangkan dalam puasa sunah, ada beberapa aturan yang mesti diperhatikan.
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. “Pada suatu hari, Nabi SAW menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalil dari hal ini adalah hadits ‘Aisyah yang telah kami sebutkan di atas.
Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari hadits ‘Aisyah di atas sebagaimana penjelasan An Nawawi rahimahullah: Puasa sunnah niatnya boleh di siang hari sebelum waktu zawal (sebelum matahari bergeser ke barat). Inilah pendapat mayoritas ulama.
Puasa sunnah boleh dibatalkan dengan makan di siang hari karena ia hanya puasa sunnah saja. Jadi puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut. (Syarh Muslim, 8: 35).
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab: Puasa sunnah si istri dengan izin suaminya.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.***
Pertanyaan:
Bagaimana hukum niat dalam puasa Ramadhan dan puasa sunnah lainnya? Apakah boleh niat puasa pada siang hari ketika kita lupa niat pada malam hari? Terima kasih.
Jawaban:
Keberadaan niat dituntut (wajib) dalam setiap jenis ibadah termasuk puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah. Ada beberapa hal yang terkait dengan persoalan niat puasa, dan persoalan ini juga menjadi perbedaan pendapat para ulama.
Berikut di antara pendapat para imam madzhab tentang seorang yang lupa niat puasa di malam hari.
1. Pendapat Imam Syafi’i
Harus tabyit niat (niat di malam hari), sehingga bila lupa niat di malam hari harus imsak (tidak makan dan minum dan sebagainya) di siang harinya, selain juga berkewajiban meng-qodlo puasanya.
2. Pendapat Imam Hambali
Ia berpendapat seperti halnya Syafi’iy. Menurutnya puasa fardlu atau wajib tidak sah kecuali niatnya telah dilakukan/kerjakan pada malam hari. Pendapat ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa tidak bertekad untuk berpuasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.”
Adapun niat puasa tathawwu/sunnah boleh dilakukan sebelum siang hari dan berbeda dengan Syafi’i sesudahnya. Dengan catatan, seseorang belum makan apa-apa sesudah fajar terbit.
Imama Hanbali berpendapat bahwa siapapun yang hatinya telah tergerak untuk berpuasa pada esok hari, berarti dia telah berniat untuk berpuasa, oleh madzhab ini dipandang wajib yaitu bertekad pada esok hari untuk berpuasa Ramadhan, atau puasa qadha, puasa nadzar atau puara kafarat.
3. Pendapat Imam Hanafi
Orang yang lupa berniat di malam sebelumnya kemudian kesiangan bangun, lalu langsung berpuasa Ramadhan. Dia tidak juga sempat makan sahur. Maka puasanya tetap sah dan tidak perlu dibayar di luar Ramadhan.
Ketentuan ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan puasa sunnah. Beda halnya untuk puasa yang sifatnya utang. Haruslah berniat pada malam harinya.
4. Pendapat Imam Malik
Boleh niat puasa Ramadhan setelah terbit fajar yaitu jika benar-benar tidak sengaja untuk bangun kesiangan.
Sama seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki pun memberlakukan ketentuan ini untuk puasa Ramadhan, maupun puasa sunnah. Bahkan diperbolehkan untuk berniat puasa Ramadhan untuk sebulan penuh.
Dalam hal ini, menurut pendapat para ulama mayoritas, untuk lebih amannya lagi. Sebaiknya kita berniat puasa setelah Maghrib untuk berpuasa di esok harinya. Dengan begini, kita tetap bisa melanjutkan untuk puasa Ramadhan meskipun bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur.
Adapun lafadz niat puasa Ramadhan, bisa diucapkan dengan lisan (bantuan lisan, karena yang wajib adalah menghadirkan dalam hati). Atau juga bisa diniatkan di dalam hati saja. Meskipun tidak harus sesuai dengan niat lengkap untuk sahur. Karena dalam hati pun sudah merupakan niat dan dihitung oleh Allah SWT.
Namun, sekali lagi ditekankan dan disarankan bahwa dalam sahur itu ada keberkahan tersendiri. Sehingga, kita harus pandai-pandai membagi waktu ibadah, waktu belajar, waktu kerja, dan waktu istirahat kita sesuai porsi masing-masing. Dan meniatkan untuk bangun lebih awal, berniat puasa Ramadhan dan bangun sahur. Karena bila kita telah terbiasa dengan waktu yang disiplin, maka insyaallah segalanya akan berjalan dengan lancar.
Sedangkan dalam puasa sunah, ada beberapa aturan yang mesti diperhatikan.
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. “Pada suatu hari, Nabi SAW menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalil dari hal ini adalah hadits ‘Aisyah yang telah kami sebutkan di atas.
Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari hadits ‘Aisyah di atas sebagaimana penjelasan An Nawawi rahimahullah: Puasa sunnah niatnya boleh di siang hari sebelum waktu zawal (sebelum matahari bergeser ke barat). Inilah pendapat mayoritas ulama.
Puasa sunnah boleh dibatalkan dengan makan di siang hari karena ia hanya puasa sunnah saja. Jadi puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut. (Syarh Muslim, 8: 35).
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab: Puasa sunnah si istri dengan izin suaminya.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.***
Tags
ISLAMI