Inspirasi Pintar,- Cerita Anak bergambar, Fajar & Mentari
Suatu hari, Fajar dan Mentari berburu capung dengan menggunakan jaring. Mereka mencari capung hingga ke semak-semak di sekitar taman. “Yeee… dapat lagi,” ucap Mentari senang. Tak lama berselang, mereka mendengar bunyi nyaring dari sebuah pohon. “Itu bunyi apa ya?” tanya Fajar.
Karena penasaran, mereka pun mendekat ke pohon itu. “Mentari lihat, ternyata yang berbunyi binatang kecil itu,” kata Fajar sambil menunjuk ke pohon. “Wah lucu ya, ayo kita tangkap,” sahut Mentari.
Belum juga mereka tangkap, binatang itu sudah terbang. “Wah terbang, ayo kita kejar,” kata Fajar. Binatang itu ternyata masuk ke pekarangan rumah seorang nenek. Mereka kemudian mengamati secara perlahan dinding rumah nenek, berharap bisa menemukan binatang tersebut.
“Kalian sedang apa Cu?” tanya nenek sambil membuka pintu. “Ehmm…ehmmm, kami sedang berburu capung Nek”. “Kalau capung gak ada di rumah nenek, adanya di sawah”. Fajar lalu menjelaskan, “Tadi kami melihat ada binatang kecil bersuara nyaring, dia terbang ke sini. Kami mau menangkapnya”.
Suatu ketika, kata nenek, ada anak laki-laki tampan yang mirip pangeran. Namun dia hanyalah anak sepasang pencari kayu bakar yang miskin. Anak tersebut malu mempunyai orangtua yang hitam, dekil, dan miskin, makanya dia tidak pernah mau pergi bersama kedua orangtuanya. Dia pun lebih memilih pergi dan bermain dengan anak-anak orang kaya, bahkan mengaku sebagai anak bangsawan.
Suatu hari, ia kepergok tiga orang pemburu yang mampir ke rumah. Saat itu ia sedang makan bersama kedua orangtuanya. “Lho, kok, Raden ada di sini?” tanya salah seorang di antara mereka. Orang-orang selalu memanggil dia raden karena mengira dia benar-benar anak bangsawan. “Aku bermain terlalu jauh sehingga tersesat. Untunglah aku bertemu dengan bekas pelayan orangtuaku,” kata nenek menirukan suara anak itu. Tiga pemburu itu percaya.
Mendengar kata-kata anaknya, hati orangtua anak itu remuk redam. Mereka berdoa pada Tuhan agar sang anak sadar dari keangkuhannya. Hingga suatu hari orangtuanya hilang kesabaran karena anaknya semakin tak tahu diri. “Aku ini anak bangsawan, kalian pasti telah menculik aku. Gara-gara perbuatan kalian, aku jadi menderita, miskin, dan terhina!” kata anak itu.
“Sadarlah Nak. Kamu memang anak kandung kami. Maafkan Emak dan Bapak bila tidak bisa membahagiakanmu,” ujar Emak dengan berurai air mata.
“Tidak! Gendu tidak percaya! Kalian bukan orangtua kandung aku. Buktinya, kita tidak mirip. Aku tampan dan bersih, sedangkan kalian hitam dan jelek!” bantah anak itu. “Baiklah, Nak,” lanjut Emak, “kalau kamu menyesal menjadi anak kami silakan cari orangtuamu itu! Emak dan Bapak ikhlas melepas kamu pergi!”
Anak itu lantas pergi meninggalkan rumah. Ia berniat mencari orangtua yang diyakininya sebagai orangtua kandungnya. Namun, yang ia cari tak pernah ditemui. Seiring waktu, anak itu menjadi olok-olok. Wajahnya yang tampan dan bersih berubah menjadi kotor. Pikirannya sibuk mencari orangtua bangsawan khayalannya sehingga ia tak sempat mandi. Tubuhnya kurus kering dan terbalut pakaian compang-camping seperti gelandangan.
Dalam kondisi yang menyedihkan itu, dia akhirnya menyesal. Ia pun pulang ke desa, ingin memohon ampun kepada orangtuanya. Tetapi, ternyata gubuk mereka telah lenyap disapu angin puyuh. Orangtuanya telah pergi tak tentu rimbanya.
Dalam kesedihan dan penyesalan, anak itu terus mencari orangtuanya sambil menangis pilu. Lambat laun, tanpa ia sadari, tubuhnya berubah menjadi sesosok makhluk sejenis serangga. Bila bersuara, seperti anak yang menangis sedih.
Penduduk setempat menamakan binatang kecil mirip lalat besar itu Kinjeng Tangis, yaitu semacam capung yang bersuara melengking, seperti suara anak kecil yang menangis pilu. Konon, itu tangisan anak itu yang menyesali perbuatannya sambil memanggil-manggil kedua orangtuanya.*
Suatu hari, Fajar dan Mentari berburu capung dengan menggunakan jaring. Mereka mencari capung hingga ke semak-semak di sekitar taman. “Yeee… dapat lagi,” ucap Mentari senang. Tak lama berselang, mereka mendengar bunyi nyaring dari sebuah pohon. “Itu bunyi apa ya?” tanya Fajar.
Karena penasaran, mereka pun mendekat ke pohon itu. “Mentari lihat, ternyata yang berbunyi binatang kecil itu,” kata Fajar sambil menunjuk ke pohon. “Wah lucu ya, ayo kita tangkap,” sahut Mentari.
Belum juga mereka tangkap, binatang itu sudah terbang. “Wah terbang, ayo kita kejar,” kata Fajar. Binatang itu ternyata masuk ke pekarangan rumah seorang nenek. Mereka kemudian mengamati secara perlahan dinding rumah nenek, berharap bisa menemukan binatang tersebut.
“Kalian sedang apa Cu?” tanya nenek sambil membuka pintu. “Ehmm…ehmmm, kami sedang berburu capung Nek”. “Kalau capung gak ada di rumah nenek, adanya di sawah”. Fajar lalu menjelaskan, “Tadi kami melihat ada binatang kecil bersuara nyaring, dia terbang ke sini. Kami mau menangkapnya”.
“Oh kinjengtangis”. Fajar dan Mentari terheran. “Apa itu kinjeng tangis Nek?”. Nenek menjawab, “Ya itu, binatang yang sedang kalian cari”. Fajar dan Mentari semakin penasaran dengan kinjeng tangis. Mereka pun meminta nenek untuk menceritakan asal-usulnya. Si nenek mempersilakan mereka masuk ke rumah, dan nenek pun mulai bercerita.
Suatu ketika, kata nenek, ada anak laki-laki tampan yang mirip pangeran. Namun dia hanyalah anak sepasang pencari kayu bakar yang miskin. Anak tersebut malu mempunyai orangtua yang hitam, dekil, dan miskin, makanya dia tidak pernah mau pergi bersama kedua orangtuanya. Dia pun lebih memilih pergi dan bermain dengan anak-anak orang kaya, bahkan mengaku sebagai anak bangsawan.
Suatu hari, ia kepergok tiga orang pemburu yang mampir ke rumah. Saat itu ia sedang makan bersama kedua orangtuanya. “Lho, kok, Raden ada di sini?” tanya salah seorang di antara mereka. Orang-orang selalu memanggil dia raden karena mengira dia benar-benar anak bangsawan. “Aku bermain terlalu jauh sehingga tersesat. Untunglah aku bertemu dengan bekas pelayan orangtuaku,” kata nenek menirukan suara anak itu. Tiga pemburu itu percaya.
Mendengar kata-kata anaknya, hati orangtua anak itu remuk redam. Mereka berdoa pada Tuhan agar sang anak sadar dari keangkuhannya. Hingga suatu hari orangtuanya hilang kesabaran karena anaknya semakin tak tahu diri. “Aku ini anak bangsawan, kalian pasti telah menculik aku. Gara-gara perbuatan kalian, aku jadi menderita, miskin, dan terhina!” kata anak itu.
“Tidak! Gendu tidak percaya! Kalian bukan orangtua kandung aku. Buktinya, kita tidak mirip. Aku tampan dan bersih, sedangkan kalian hitam dan jelek!” bantah anak itu. “Baiklah, Nak,” lanjut Emak, “kalau kamu menyesal menjadi anak kami silakan cari orangtuamu itu! Emak dan Bapak ikhlas melepas kamu pergi!”
Anak itu lantas pergi meninggalkan rumah. Ia berniat mencari orangtua yang diyakininya sebagai orangtua kandungnya. Namun, yang ia cari tak pernah ditemui. Seiring waktu, anak itu menjadi olok-olok. Wajahnya yang tampan dan bersih berubah menjadi kotor. Pikirannya sibuk mencari orangtua bangsawan khayalannya sehingga ia tak sempat mandi. Tubuhnya kurus kering dan terbalut pakaian compang-camping seperti gelandangan.
Dalam kondisi yang menyedihkan itu, dia akhirnya menyesal. Ia pun pulang ke desa, ingin memohon ampun kepada orangtuanya. Tetapi, ternyata gubuk mereka telah lenyap disapu angin puyuh. Orangtuanya telah pergi tak tentu rimbanya.
Dalam kesedihan dan penyesalan, anak itu terus mencari orangtuanya sambil menangis pilu. Lambat laun, tanpa ia sadari, tubuhnya berubah menjadi sesosok makhluk sejenis serangga. Bila bersuara, seperti anak yang menangis sedih.
Penduduk setempat menamakan binatang kecil mirip lalat besar itu Kinjeng Tangis, yaitu semacam capung yang bersuara melengking, seperti suara anak kecil yang menangis pilu. Konon, itu tangisan anak itu yang menyesali perbuatannya sambil memanggil-manggil kedua orangtuanya.*
Tags
CERITA ANAK