Inspirasi Pintar,- Cerita Anak Pintar Fajar & Mentari
SIANG itu setelah pulang dari upacara peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November, Fajar, Mentari, Naura, dan Adam pergi ke rumah Pak Tomo, seorang tokoh pejuang di Republik Indonesia ini. Banyak cerita perjuangan yang bisa digali dari Pak Tomo. Dan dia selalu semangat menceriterakan tentang bagaimana suka dukanya berperang melawan para penjajah yang menguasai negeri ini.
Siapa saja yang mendengarkan ceritanya pasti seakan terhipnotis, larut dalam ceritanya, seakan-akan mereka mengalami sendiri berada di medan pertempuran. “Tentu cerita perjuangannya kali ini akan semakin seru, kawan-kawan,” kata Fajar. “Ya, pastilah...hari ini kan tepat Hari Pahlawan.” “Asyiikkkk.”
Namun, setibanya di rumah Pak Tomo, ternyata Beliau sedang menangis di hadapan televisi. Sesekali menundukkan kepala sambil mengusap air matanya. “Ada peristiwa apa sehingga Beliau sampai menangis?” “Mungkinkah Pak Tomo terkenang saat perjuangan 1945 dulu?” tanya Mentari.
“Assalamu’alaikum,” sapa mereka bersamaan. “Wa alaikumussalam,” jawab Pak Tomo dari dalam rumah. “Eeee....cucu-cucuku. Ayo..ayoo masuk. Wah, nampaknya kalian belum pulang ke rumah ya? Kok masih pada memakai seragam sekolah begitu?” tanya Pak Tomo.
“Tadi ada upacara Hari Pahlawan, Pak. Nah, setelah upacara usai, kami diperbolehkan pulang karena di sekolah tidak ada kegiatan belajar lagi.” “Pak, kami ingin mendengar cerita perjuangan lagi. Boleh khan, Pak?” celetuk Adam. Pak Tomo malah terdiam. Kedua matanya kembali digenangi air mata. “Memangnya ada apa, kok Pak Tomo sedih?” tanya Naura.
“Begini cucu-cucuku. Bapak akhir-akhir ini merasa sedih. Sedih sekali melihat kelakuan generasi penerus negeri ini. Bapak sering melihat berita di televisi banyak sekali para pelajar, para mahasiswa, masyarakat, anggota dewan dan para pejabat negeri saling berkelahi. Mereka saling hantam. Mereka saling caci, saling fitnah, saling ingin menunjukkan kepandaian mereka sendiri. Melihat semua kejadian ini bapak jadi sedih. Sedih cucu-cucuku. Sepertinya menyelesaikan semua persoalan harus dengan pertengkaran tiada akhir. Masyarakat semakin jauh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaannya. Masyarakat semakin meninggalkan nilai-nilai persatuan. Masyarakat semakin meninggalkan cara-cara bermusyawarah dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Para pemimpin negeri ini banyak yang kurang amanah dalam mengemban tugasnya. Penyelewengan jabatan terjadi dimana-mana. Korupsi. Manipulasi seakan sudah bukan barang tabu lagi. Dan semua ini yang membuat bapak sedih,” terang Pak Tomo.
Mereka hanya tertegun mendengarkan cerita Pak Tomo. “Tapi, kenapa mereka sampai berbuat begitu ya, Pak?” “Sekarang beda dengan saat bapak masih berjuang dulu. Kalau jaman Bapak berjuang tidak ada yang namanya perbedaan suku, agama, ras dan perbedaan-perbedaan yang lain. Bukan berarti tidak pernah ada konflik antara kami. Konflik itu pasti ada. Namun semua konflik itu bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak ada yang saling merasa benar sendiri. Tidak ada yang sok jagoan. Kita saling menghargai satu sama lain. Sebab tujuan kami saat itu sama yaitu bagaimana bisa mengusir para penjajah ibu pertiwi ini.”
“Iya, Pak. Pelajar, mahasiswa atau masyarakat sekarang sepertinya mudah sekali emosi. Perkara kecil bisa menjadi besar dan ujung-ujungnya bisa memicu konflik yang berakhir dengan bentrok massal. Ngeriiii.... padahal kalau salah satu pihak bisa menahan diri tentu konflik di antara mereka tidak akan bisa terjadi.”
“Wah...bapak bangga dengan kalian. Ternyata cara pandang cucu-cucuku sudah lebih dewasa. Dan mudah-mudahan kalian-kalian ini bisa menjadi pemimpin negeri ini di masa mendatang.” kata Pak Tomo. “Hahahahaha....tentu saja Pak. Siapa dong pahlawannya? Pak Tomo....”. “Hahahahaha....kalian ini ada-ada saja, cucuku.” Baru kali ini mereka melihat Pak Tomo tertawa senang. Sepertinya dari sorot matanya ada sebuah harapan besar terhadap mereka untuk bisa meneruskan cita-cita Beliau.*
Tags
CERITA ANAK