Selain hal tersebut di atas masih
terdapat keunikan-unikan lain, di antaranya hal yang berhubungan dengan wisata
kuliner, ada docang, sega lengko, sega Jamblang, tahu gejrot dan lainnya, demikian pula dengan obyek wisata
seni pertunjukan, ada wayang kulit dan topeng khusus gaya Cirebon, sintren ,
genjring dogdog dan lainnya.
Di luar hal yang telah
dikemukakan terdahulu , tidak kalah pentingnya asset budaya yang merupakan
obyek wisata yang berupa benda-benda
peninggalan sejarah yang mempunyai nilai budaya, yang dapat merupakan magnit
yang dimiliki Kota Cirebon bagi para wisatawan baik domestik maupun wisatawan
mancanegara, terutama bangunan-bangunan karya arsitektur peninggalan masa
lampau yang sarat akan nilai-nilai budaya dan sejarah yang patut merupakan
kebanggan kita semua.
Beberapa pakar arsitektur
berpendapat, bahwa meskipun Mesjid Agung Demak dianggap umum sebagai Mesjid
karya arsitektur tertua di Indonesia, bangunan istana tertua sebagai karya
arsitektur Islam adalah Keraton tua Kesepuhan pada gugus istana Kerajaan
Cirebon. Hal yang paling menonjol dari semua ini, adalah ragam hias
“Megamendung” yang ditemukan diatas pintu gerbang masuk dan disamping kaki
pintu Keraton Kesepuhan yang selanjutnya merupakan ragam hias batik khas
Cirebon, yang menunjukkan bahwa seluruh bangunan dibayangkan sebagai sesuatu
yang melayang-layang di awan atau berdiri di atas lereng gunung / meru yang
tinggi.
Karya-karya arsitektur masa lampau tersebut di atas, patut kita pelihara dan kita lestarikan sebagai Benda Cagar Budaya, baik guna kepentingan kepariwisataan maupun kepentingan lain yang sangat berharga bagi pembentukan karakter jiwa generasi penerus, dengan berpedoman pada
Prof.
Ir. Eko Budihardjo, MSc. dalam bukunya “Arsitektur
Sebagai Warisan Budaya”, mengemukakan tolok ukur yang dicetuskan oleh
Snyder & Catanese (1979) dan James Semple Kerr (1983) tentang tolok
ukur benda yang patut dilestarikan
sebagai benda cagar budaya, dilihat dari :
*.
Segi Kelangkaan
*.
Segi Kesejarahan
*.
Segi Estetika
*.
Segi Superlativitas
*.
Segi Kejamakan sebagai karya tipikal
*.
Kualitas Pengaruh
*.
Segi Nilai Sosial
*.
Segi Nilai Komersial
*. Segi Nilai Ilmiah.
Dengan sembilan tolok ukur
tersebut, dapat ditentukan peringkat dari setiap bangunan kuno yang dinilai layak
untuk dikonservasikan. Bila dikehendaki lebih spesifik lagi, hal itu dapat
lebih dipertajam dengan tolok ukur citra dan penampi;an yang meliputi tata
ruang luar, bentuk bangunan, struktur atau konstruksi, interior dan ornament.
Tolok ukur yang dikemukkaan terahir ini akan menuding pada kekhasan atau
keunikan bangunan, sekaligus mengarahkan strategi penanganannya yang tepat.
Rasa memiliki dari masyarakat setempat, yang ditandai dengan pemberian julukan
seperti Gedung Sate di Bandung, Mesjid Agung untuk Mesjid Sang
Ciptarasa, dan lain-lain, merupakan pula salah satu tolok ukur tambahan yang
tidak kalah pentingnya.
Kesinambungan masa lampau ,
masa kini, dan masa depan yang
mengejawantah dalam karya-karya arsitektur di suatu tempat, merupakan faktor
yang sangat penting dalam penumbuhan harga diri, percaya diri dan penampilan
jati diri atau identitas masyarakatnya.
Keberadaan
bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, yang mengejawantah
pada karya arsitektur setempat khususnya kota Cirebon, telah menciptakan
identitas tersendiri terhadap budaya dan peradaban masyarakat. Generasi penerus
akan dapat menyaksikan bukti-bukti sejarah dari perjalanan hidup generasi
sebelumnya, yang memberikan peluang bagi generasi penerus untuk menyentuh dan
menghayati perjuangan dan perjalanan hidup nenek moyangnya.
Suatu
kebanggan tersendiri bagi warga
masyarakat Kota Cirebon pada khususnya dan masyarakat wilayah eks karesidenan
Cirebon pada umumnya, karena Cirebon mewarisii bangunan karya Arsitektur kuno
yang memiliki nilai sejarah dan budaya, yang tidak selalu dimiliki oleh
daerah-daerah lain yang sederajat. Selain itu merupakan suatu keberuntungan
karena bangunan- bangunan tersebut , tidak mengalami kerusakan yang berarti
pada saat terjadinya Perang Dunia Ke II dan Perang Kemerdekaan.
Ditinjau
dari nilai budaya dan arsitekturnya, bangunan karya arsitektur peninggalan
sejarah di Kota Cirebon dapat dikatagorikan relatif lengkap, mengingat warisan
bangunan kuno yang dimilikii mempunyai corak yang cukup beragam, yaitu :
- Bangunan kuno yang memiliki corak Arsitektur tradisional bernuansa keislaman, yaitu keraton-keraton dan bangunan lainnya peninggalan masa-masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati.
- Bangunan –bangunan kuno dengan Arsitektur gaya Eropa yang berakulturasi dengan gaya arsitektur dan budaya setempat, sebagai peninggalan masa-masa kolonial, pada saat penjajahan selama tiga ratus lima puluh tahun.
- Bangunan-bangunan kuno yang bernuansa gaya Arsitektur China, yang dibangun oleh para emigran China yang datang ke Cirebon sejalan dengan perkembangan kota Cirebon saat penyebaran agama Islam dan jaman kolonial dimasa lalu.
Dimasa
kini, memang kota Cirebon telah mengalami kehilangan beberapa warisan bangunan kuno yang dipandang
layak untuk dilestarikan sebagai benda cagar budaya. Diantaranya bangunan
bersejarah eks Korem atau lebih dikenal
dengan nama Hotel Canton, yang konon kabarnya gaya arsitekturnya mempunyai
nuansa senada dengan gaya arsitektur Istana Malacanang, Istana Kepresidenan
Filipina di Manila, bangunan tersebut telah hapus dari pandangan, hilang
sejalan dengan perkembangan jaman sebagai akibat persaingan kepentingan dimana
kepentingan nilai budaya terkalahkan oleh nilai kepentingan ekonomi.
Demikian
pula bangunan kuno BRI yang terletak di Jalan Kartini, yang dalam upaya
meningkatkan prasarana fisik sebagai antisipasi meningkatnya fungsi Bank
tersebut, terpaksa bangunan kuno tersebut
runtuh hilang dari pandangan, sebagai akibat dari perbedaan persepsi
dalam pengkajian dimana bangunan tersebut dinilai sebagai benda peninggalan
sejarah yang tidak perlu dilestarikan. Dan terlepas dari hal itu semua tidak
perlu ada yang disesalkan, itulah romantika dalam dinamika perkembangan
perkotaan.
Pada
sekitar tahun 1998, pihak Dinas Kimpraswil ( DPU ) Provinsi Jawa Barat ,
menyelenggarakan pendataan Kawasan dan Bangunan Kuno Warisan Sejarah di Kota
Cirebon, yang kegiatan dan pengkajiannya dilaksanakan oleh Sekolah Tinggi
Teknologi Cirebon melalui Piagam Kerjasama. Dan hasil pendataan serta
pengkajian Kawasan dan Bangunan peninggalan sejarah itulah yang dipergunakan
sebagai dasar terbitnya Surat Keputusan Walikota Cirebon No. 19 tahun 2001 tentang
Perlindungan Kawasan dan Benda Cagar Budaya di Kota Cirebon.
Dengan
terbitnya Surat Keputusan Walikota tersebut, suatu hal yang sangat
menggembirakan karena langkah tersebut merupakan suatu kepedulian Pemerintah
Daerah Kota Cirebon terhadap kelestarian
Bangunan-bangunan Kuno warisan
bersejarah yang sangat penting artinya bagi ilmu pengetahuan,
pariwisata, pendidikan, dan pengembangan sosial budaya Kota Cirebon.
Selain
dari langkah-langkah tersebut di atas sepengetahuan penulis sudah ada tindak
lanjut dari kepedulian Pemerintah Kota Cirebon terhadap pelestarian yang
dimaksud, dengan adanya Proyek Pengkajian dan Pelestarian, Perlindungan dan
Pengembangan Kawasan, Situs dan Benda Cagar Budaya Kota Cirebon yang
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Kota Cirebon dengan
produk tersusunnya Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Peninggalan
Sejarah Dan Purbakala Kota Cirebon, dan
Rancangan Peraturan Daerah ( RAPERDA ) Kota Cirebon tentang Pengelolaan
Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Kota Cirebon.
Sebagaimana
kita memakluminya bahwa bangunan-bangunan kuno yang bernilai sebagai warisan
budaya di dalam wilayah Kota Cirebon, hampir seluruhnya berada di lokasi yang mempunyai nilai strategis dalam kegiatan
perekonomian kota, yang sudah tentu lokasi tersebut merupakan titik-titik
incaran bagi para investor, dan hal itu sesuatu yang sangat wajar dan tidak
bisa dipungkiri .
Sehubungan
dengan upaya pelestarian bangunan kuno ini kita dihadapkan kepada kondisi yang
cukup pelik, karena bila tidak didukung
oleh ketegaran hati dan berjiwa besar akan terjadi pertentangan kepentingan. Di
satu sisi ada keinginan untuk mempertahankan kelestarian bangunan kuno yang
mempunyai nilai tinggi sebagai warisan budaya , dan dilain fihak adanya
keinginan untuk meningkatkan prasarana fisik dalam upaya untuk pengembangan
bidang ekonomi kota yang sudah tentu
akan berimbas dan merupakan ancaman terhadap kelestarian bangunan kuno sebagai
benda cagar budaya.
Sebagai
bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dan semua fihak yang ada
tautannya dengan bangunan kuno sebagai warisan budaya, bagaimana seyogianya
solusi yang di ambil dalam memecahkan persoalan yang cukup dilematis ini, ada
baiknya kita melihat selayang pandang langkah-langkah apa yang telah diambil oleh negara
lain.
Di
negara-negara maju pihak pemerintah maupun lembaga swastanya, begitu perhatian
dan begitu peduli terhadap bangunan-bangunan kuno yang merupakan warisan
sejarah dan budayanya, sehingga begitu ketat dalam upaya pelestariannya bahkan begitu besar biaya yang dikeluarkan untuk
mempertahankan esksistensi dan kelestariannya. Ada dua langkah yang cukup
menonjol yang dilakukan oleh mereka dalam upaya solusi pemecahan
permasalahannya. Pertama, dalam usaha untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan prasarana
fisik dalam perkembangan perekonomian / kelembagaannya , tetap memper-tahankan
bangunan lamanya, dan menambah bangunan baru dibelakang / sekitarnya yang arsitekturnya kontekstual dengan
bangunan lama. Kedua , mempertahankan
bangunan lama dengan segala keasliannya, dan
untuk pemenuhan kebutuhan prasarana fisik sebagai antisipasi terhadap
pengembangan pereknomian / kelembagaannya, membangun gedung baru di tempat lain yang tidak kurang strategisnya.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan langkah – langkah yang telah diambil oleh negara
tetangga kita, Singapore, begitu serasinya bangunan Kuno dan bangunan Baru
tampil secara bersama-sama tampa yang satu dikalahkan oleh yang lain. Di latar
depan ( front ground ) Bangunan Kuno tampil secara manis menarik lengkap dengan
segala aksesorinya, dan di latar belakang ( back ground ) Bangunan Modern tinggi menjulang ke
angkasa bagaikan seorang anak muda yang
melindungi embahnya yang sangat dicintainya.
Demikian
pula di negara-negara maju misalnya di Eropa, banyak bagian Kota-kota Lama beserta bangunan kuno warisan
sejarah dengan segala keunikan arsitekturnya, tetap dipertahankan dan
dilestarikan sebagaimana kondisi pada suatu kurun waktu tertentu dimasa silam.
Kita dapat membayangkan Kota lama beserta bangunan kunonya seolah-olah dapat
berceritera kepada para pengamatnya;
memberi informasi tentang budaya pada masanya , gaya arsitekturnya,
kehidupan sosial ekonominya dan segala hal yang menyangkut kehidupan dan
peradabannya. Dan mungkin saja para
generasi mudanya dapat menepuk dada bangga diri sambil berceloteh atas
kehidupan nenek moyangnya: di gedung inilah kakek saya menjabat Walikota; di sinilah ada kisah
romantis waktu Eyang Kakung dan Eyang Putri berpacaran ketika
remaja; atau di gedung yang megah anak muda berkata inilah karya arsitektur
kakek saya; Atau mungkin juga sepasang kakek-nenek sambil membawa anjingnya
berjalan-jalan bernostalgia untuk mengenang masa-masa indah dimasa muda.
Sebagai
ilustrasi, langkah-langkah yang telah diambil oleh pengelola Bank Indonesia ( B
I ) di jalan Yos Sudarso Kota Cirebon patut diberi acungan jempol , karena
dalam penyelenggaraan perluasan bangunannya telah memperlihatkan kepedulian
terhadap pelestarian bangunan kuno yang bersejarah. Kalau tidak salah pada
sekitar dekade tujuhpuluh-delapanpuluhan Bangunan Bank Indonesia Cirebon
diadakan perluasan ( kebelakang ) yang arsitekturnya dibuat sesuai dengan
bangunan lamanya, sehingga bagi warga masyarakat yang belum lama di Cirebon
tidak akan dapat menduga bahwa bangunan tersebut telah ada pengembangan.
Demikian juga sekarang, dalam upaya penambahan prasarana fisiknya, Bangunan
Kuno di pertahankan keaslian bentuknya dan Bangunan Baru di bangun di belakang
dengan bentuk arsitekturnya kontekstual terhadap bangunan lamanya sebagai latar belakang atau back ground. Memang ada hal yang
dirasakan hilang, yaitu bangunan Sociteit / Balai Pertemuan yang kalau tidak
salah bernama Phunix , terpaksa dibongkar demi penampilan bangunan baru di
belakangnya yang lebih dapat menampilkan jati diri Bank BI secara keseluruhan.
Belajar
dari pengalaman, dalam upaya pelestarian Bangunan Kuno sebagai benda cagar
budaya di Kota Cirebon, tidaklah mudah dan tidak sederhana , karena banyak
kendala yang dihadapi dalam segala aspek yang berkaitan dengan kondisi, situasi dan
kepentingan. Dalam hal ini perlu kesadaran budaya dari berbagai fihak, perlu
sikap yang konsisten dari para penentu kebijakan, perlu jiwa besar dari para
pemilik dan / atau pengguna serta mendapat
dukungan komitmen dan keselarasan politik dari semua fihak yang terlibat.
Apabila
Rumusan Rekomendasi Kebijakan
Pengelolaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Cirebon yang telah disusun
disahkan dan disosialisasikan, serta dilaksanakan oleh semua unsur
Pemerintah yang terkait dan diterima
oleh unsur pemilik dan / atau pengguna bangunan kuno dalam hal ini fihak swasta
atau para investor, tidak tertutup kemungkinan pelestarian bangunan kuno karya
arsitektur yang sangat tinggi nilainya sebagai benda cagar budaya sedikit
banyak dapat terrealissasikan sebagaimana yang diharapkan.
Sebagai
penyegaran atas hal yang pernah mengemuka pada perumusan Rekomendasi Kebijakan
tentang perlindungan benda cagar budaya,
ada baiknya di sini di kemukakan kembali apa yang telah disampaikan penulis
berdasarkan Langkah Nyata yang di kemukakan Prof. Eko Budihardjo seperti yang
tertuang dalam bukunya yang sudah dikemukakan terdahulu, sepanjang ada dukungan
politik dan adanya saling pengertian serta kerjasama dari semua pihak,
langkah-langkah tersebut dapat memungkinkan untuk dilaksanakan:
Pertama, Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, Peraturan Daerah
tentang Benda Cagar budaya seyogianya segera disyahkan dan dilaksanakan
Kedua, Pemerintah Daerah beserta para pakar dan konsultan yang kompeten
dalam konservasi,segera menyusun panduan perencanaan dan perancangan ( Planning and design guidelines) pada
kawasan konservasi kota lama.
Ketiga, Adanya kemitraan pemerintah dengan pihak swasta dalam suatu bentuk Joint Venture. Dalam penggalangan dana
dan daya kemitraan,dapat diupayakan revitalisasi kawasan dan bangunan
bersejarah tidak sekedar berorientasi pada kepentingan budaya dan kesejarahan
saja, tetapi juga berwawasan ekonomi-finansial.
Keempat, Beberapa bangunan bersejarah yang bermakna Tengeran atau Landmark yang
berskala kota, seyogianya di kuasai oleh Pemda.
Kelima, Sistem intensip dan disinsentip, bonus dan sanksi, Reward and punishment diterapkan dalam
menggairahkan iklim investasi di kawasan dan bangunan bersejarah.
Keenam, Dalam kegiatan usahanya, ada pemberian keringan pajak pada
pengusaha atau pemilik bangunan kuno yang merupakan benda cagar budaya atau kawasan konservasi.
Ketujuh , Berkaitan dengan keadiluhungan arsitektural atau architectural excellence dari
bangunan-bangunan baru yang bisa disuatu saat menjadi tetenger zaman, sebagai karya
arsitektur unggulan dapat dijadikan monumen arkeologi di masa mendatang.
Berbeda
dengan biografi atau sejarah kehidupan orang besar atau ternama yang sedikit
banyak dapat dimanipulasi, karya arsitektur merupakan bukti sejarah yang tampil
dengan sejujurnya dan apa adanya.*
Oleh: Ir. H. I. Solichin M.T
Tags
ARSITEKTUR