Inspirasi Pintar,- Cerita Anak bergambar Fajar & Mentari
SEPERTI biasanya, Fajar, Mentari, Naura, dan Marisa siang itu pulang sekolah bareng. “Eh, bentar lagi kan mau 17 Agustusan, kalian nanti mau ikutan lomba apa?” Tanya Naura. “Eh iya ya, bentar lagi perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-70. Kalau aku sih, maunya balap kelereng,” Mentari menjawab. “Kalau aku balap karung ja,” sahut Fajar. “
“Nah, ngomong-ngomong soal kemerdekaan, kalian inget nggak sama seorang kakek yang tinggal di seberang sana?” tanya Naura. “Kakek?” mereka terheran. Naura mencoba mengingatkan teman-temannya akan perjuangan seorang kakek pada zaman penjajahan dulu. Kakek itu bernama Supri. Meski bukan seorang pahlawan perang, tapi kakek ini tahu persis bagaimana kondisi dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mengusir para penjajah.
“Namanya Kakek Supri, yang setiap hari bawa sayuran naik sepeda itu lho,” kata Naura. Mereka sejenak terdiam. “Oh iya aku ingat. Tapi kayaknya belakangan ini dia gak pernah lewat sini lagi deh,” ujar Fajar. “Nah, bagaimana kalau kita ke rumahnya aja, itung-itung mengenang perjuangan orang terdahulu gitu,” ucap Mentari.
Mereka berempat kemudian pergi menuju rumah Kakek Supri yang tinggal seorang diri. Istrinya telah meninggalkannya karena terkena serangan stroke. Kakek Supri memiliki sebidang lahan di samping rumahnya. Lahan inilah yang dijadikannya mata pencaharian untuk bertahan hidup. Setiap hari Kakek Supri pergi ke pasar untuk menjual berbagai macam hasil ladangnya. Namun belakangan ini, ia tidak bisa ke pasar karena sepeda tuanya rusak.
“Assalamualaikum Kek?” kata mereka di depan rumah Kakek Supri. Kakek Supri kebetulan sedang tidur-tiduran di kursi bambu yang sudah agak reot. “Walaikumsalam.., masuk Cu”. Begitulah panggilan kakek kepada setiap anak yang disapanya. Selain sendiri, Kakek Supri juga tidak punya anak.
“Wah, tumben kalian datang. Kakek sangat senang sekali kalau kalian main ke sini. Sebentar Kakek ambilkan makanan.” Walau jalannya sudah tidak bisa tegap lagi, kakek tetap terlihat semangat. Padahal umurnya sudah 87 tahun. “Ini dia makanannya,” kata sang kakek. Sebuah singkong rebus dalam sebuah ember kecil disajikan kepada mereka.
“Kek, kok Kakek gak pernah keliatan lagi sih? Biasanya kan Kakek ke pasar,” tanya Mentari. Kakek Supri kemudian menceritakan alasannya. Mereka pun terharu, karena sepeda tua itu satu-satunya harta yang dimiliki kakek untuk bepergian, termasuk mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari.
Hari semakin sore. Fajar, Mentari, Naura, dan Marisa pun mendapatkan banyak semangat hidup usai diceritakan kakek tentang perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Sebelum pamit pulang, Fajar berbisik ke rekan-rekannya. “Aku punya ide, bagaimana kalau kita patungan untuk memperbaiki sepeda kakek,” ajak Fajar.
“Kalau pun kita patungan, kayaknya gak akan cukup deh untuk memperbaiki sepeda kakek. Pasti mahal perbaikannya,” jawab Naura. “Tenang aja aku punya celengan kok di rumah,” kata Marisa. “Aku juga punya celengan,” sahut Mentari. “Aku juga,” kata Fajar.
Mereka secara diam-diam membawa sepeda kakek untuk diperbaiki. Keesokan harinya sepeda kakek bisa digunakan kembali. “Kakek, liat sepeda Kakek sudah bisa digunakan lagi,” kata Fajar. Kakek Supri terkejut sambil menangis, karena sekarang dia bisa beraktivitas lagi seperti semula.*
Yukk, Baca Lagi Cerita Fajar & Mentari yang Lainnya :
SEPERTI biasanya, Fajar, Mentari, Naura, dan Marisa siang itu pulang sekolah bareng. “Eh, bentar lagi kan mau 17 Agustusan, kalian nanti mau ikutan lomba apa?” Tanya Naura. “Eh iya ya, bentar lagi perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-70. Kalau aku sih, maunya balap kelereng,” Mentari menjawab. “Kalau aku balap karung ja,” sahut Fajar. “
“Nah, ngomong-ngomong soal kemerdekaan, kalian inget nggak sama seorang kakek yang tinggal di seberang sana?” tanya Naura. “Kakek?” mereka terheran. Naura mencoba mengingatkan teman-temannya akan perjuangan seorang kakek pada zaman penjajahan dulu. Kakek itu bernama Supri. Meski bukan seorang pahlawan perang, tapi kakek ini tahu persis bagaimana kondisi dan perjuangan Bangsa Indonesia dalam mengusir para penjajah.
“Namanya Kakek Supri, yang setiap hari bawa sayuran naik sepeda itu lho,” kata Naura. Mereka sejenak terdiam. “Oh iya aku ingat. Tapi kayaknya belakangan ini dia gak pernah lewat sini lagi deh,” ujar Fajar. “Nah, bagaimana kalau kita ke rumahnya aja, itung-itung mengenang perjuangan orang terdahulu gitu,” ucap Mentari.
Mereka berempat kemudian pergi menuju rumah Kakek Supri yang tinggal seorang diri. Istrinya telah meninggalkannya karena terkena serangan stroke. Kakek Supri memiliki sebidang lahan di samping rumahnya. Lahan inilah yang dijadikannya mata pencaharian untuk bertahan hidup. Setiap hari Kakek Supri pergi ke pasar untuk menjual berbagai macam hasil ladangnya. Namun belakangan ini, ia tidak bisa ke pasar karena sepeda tuanya rusak.
“Assalamualaikum Kek?” kata mereka di depan rumah Kakek Supri. Kakek Supri kebetulan sedang tidur-tiduran di kursi bambu yang sudah agak reot. “Walaikumsalam.., masuk Cu”. Begitulah panggilan kakek kepada setiap anak yang disapanya. Selain sendiri, Kakek Supri juga tidak punya anak.
“Wah, tumben kalian datang. Kakek sangat senang sekali kalau kalian main ke sini. Sebentar Kakek ambilkan makanan.” Walau jalannya sudah tidak bisa tegap lagi, kakek tetap terlihat semangat. Padahal umurnya sudah 87 tahun. “Ini dia makanannya,” kata sang kakek. Sebuah singkong rebus dalam sebuah ember kecil disajikan kepada mereka.
“Kek, kok Kakek gak pernah keliatan lagi sih? Biasanya kan Kakek ke pasar,” tanya Mentari. Kakek Supri kemudian menceritakan alasannya. Mereka pun terharu, karena sepeda tua itu satu-satunya harta yang dimiliki kakek untuk bepergian, termasuk mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari.
Hari semakin sore. Fajar, Mentari, Naura, dan Marisa pun mendapatkan banyak semangat hidup usai diceritakan kakek tentang perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Sebelum pamit pulang, Fajar berbisik ke rekan-rekannya. “Aku punya ide, bagaimana kalau kita patungan untuk memperbaiki sepeda kakek,” ajak Fajar.
“Kalau pun kita patungan, kayaknya gak akan cukup deh untuk memperbaiki sepeda kakek. Pasti mahal perbaikannya,” jawab Naura. “Tenang aja aku punya celengan kok di rumah,” kata Marisa. “Aku juga punya celengan,” sahut Mentari. “Aku juga,” kata Fajar.
Mereka secara diam-diam membawa sepeda kakek untuk diperbaiki. Keesokan harinya sepeda kakek bisa digunakan kembali. “Kakek, liat sepeda Kakek sudah bisa digunakan lagi,” kata Fajar. Kakek Supri terkejut sambil menangis, karena sekarang dia bisa beraktivitas lagi seperti semula.*
Yukk, Baca Lagi Cerita Fajar & Mentari yang Lainnya :
☃ Fajar & Mentari - Bermain Egrang
Tags
CERITA ANAK